ANAK-ANAK AHMAD JAAFAR AR-RAWI

ANAK-ANAK AHMAD JAAFAR AR-RAWI

Thursday, October 30, 2008

Kebangkitan Sastra Perlu Untuk Lembutkan Budi Pekerti

Kebangkitan Sastra Perlu Untuk Lembutkan Budi Pekerti

Oleh Maria D. Andriana

Jakarta (ANTARA News) - "Siul Gelombang", karya pujangga India,
Rabindranath Tagore (1861-1941) dikenal sebagai simbol kepahlawanan,
pengabdian dan pengorbanan, serta mewakili suara kaum penentang terorisme.

Karya tersebut lahir pada 1934, suatu era revolusioner menjelang
kemerdekaan Bangladesh yang membuat negeri India banyak diguncang teror.

Melalui tokoh Ela dalam novel tersebut, pembaca bisa digelitik untuk
merenungkan kehidupan masing-masing, memaknai cinta, ideologi, dan
hubungan antar manusia.

Tagore yang banyak melahirkan karya besar diakui sebagai sastrawan
dunia, ia menjadi sosok yang banyak menyuarakan kebudayaan agung India
dan artis serba bisa. Melalui karyanya dalam bentuk cerpen, puisi,
naskah drama bahkan juga musik, ia pun ?dinobatkan? sebagai salah
seorang bapak bangsa dan dianugerahi penghargaan Nobel bidang sastra
pada tahun 1913.

Sebuah karya sastra memang selalui diciptakan oleh para penulisnya
untuk mengajak khalayak pembaca memikirkan dan merenungkan sesuatu hal
menyangkut olah pikir dan jiwanya.

?Hubungan antara karya sastra dan budi pekerti serta perilaku manusia
memang sangat erat,? kata Julius Felicianus, Direktur Galang Press,
salah satu penerbit buku terkemuka di Indonesia.

Menurutnya, karya sastra bisa membuat seseorang menjadi lebih stabil
dan mampu mengendalikan emosinya. Jika banyak membaca karya sastra,
seseorang biasanya tidak akan cepat marah, karena karya-karya sastra
dapat menggugah pembacanya untuk berpikir dan bertindak secara
positif, dengan mempelajari kompleksitas hidup yang disajikan dalam
cerita sastra.

?Sekarang ini, ketika kesusastraan di Indonesia sedang lesu dan beban
hidup semakin berat, banyak orang Indonesia menjadi cepat marah,
misalnya ketika `senggolan` di jalan raya bisa memicu pertengkaran,?
kata Julius.

Namun, sebagai penerbit, Julius mengamati bahwa saat ini karya sastra
justru dijauhi oleh pembaca, bahkan pelajaran bahasa Indonesia di
sekolah pun meninggalkan kesusastraan.

Hanya ada segelintir sekolah yang kini memberikan pekajaran
kesusastraan, itu pun menurut pengamatannya sangat bergantung pada
inisiatif guru dan sekolah.

Untuk membuktikan pendapatnya, Julius membeberkan fakta menyangkut
minat baca masyarakat. Seperti apa pilihan bacaan orang Indonesia
dewasa ini?

Buku bermutu dalam arti yang mengemukakan nilai-nilai positif atau
disebut sebagai buku-buku ?idealis? hanya terjual rata-rata sekitar 25
buku per judul per bulan, sementara buku-buku yang popular bisa
terjual antara 15.000 hingga di atas 50.000 untuk tiap judul dalam
sebulan.

Menurutnya, kelesuan sastra Indonesia bukan bersumber hanya dari
masalah ketiadaan penulis sastra atau kurangnya minat baca semata,
tetapi juga terpengaruh oleh situasi politik, ekonomi dan sosial di
Indonesia.

Ketika masa Orde Baru sudah bisa memberikan rasa aman pada masyarakat,
maka seni sastra pun tumbuh. Pada masa 1970-an, pendidikan sastra di
sekolah jauh lebih bagus dibanding sekarang. Siswa diwajibkan membaca
dan meringkas karya-karya sastra Indonesia yang muncul sejak masa
penjajahan Belanda dan era kemerdekaan.

Kini, pada masa perubahan politik di Indonesia, ketika masyarakat
kebanyakan masih merasakan kesulitan hidup (mencari nafkah), maka
orang mengabaikan kepentingan membaca karya sastra.

?Orang lebih memilih buku-buku yang memberikan pengetahuan praktis
(how to ...) yang hasilnya segera bisa dimanfaatkan untuk menambah
pengetahuan atau ketrampilan dan bermanfaat untuk menambah
penghasilan,? katanya.

Buku-buku seperti itu bisa terjual antara 15.000 hingga 25.000 buku
dalam satu bulan untuk satu judul. Sementara buku terlaris, termasuk
di dalamnya popular dan mengandung materi seksualitas, bisa diserap
pasar di atas 100.000 buku per judul per bulan.

Namun, sebagai penerbit, Julius tetap menetapkan komposisi 30 persen
terbitan kelompok Galang Press dengan buku-buku idealis seperti karya
sastra dan jenis buku pengetahuan lainnya sementara 70 persen lainnya
adalah buku-buku yang mengikuti selera pasar.

?Kami masih memberi kesempatan kepada para penulis idealis dan juga
pilihan bagi pembaca, meskipun porsinya kecil karena harus
mempertimbangkan sisi bisnis,? ujarnya.

Kebangkitan kesusastraan Indonesia menurut prediksi Julis pasti akan
terjadi karena selera pembaca juga bergerak dalam suatu siklus.

Dalam peta buku di Indonesia saat ini, pergeseran selera juga terjadi
yaitu terjadi kecenderungan pembaca menyukai novel-novel religius.
Mudah sekali untuk membuktikan pendapat tersebut, yaitu dengan
melongok pada rak buku-buku terlaris di semua toko buku.

Buku Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrachman El Shirazy yang meledak
adalah salah satu buktinya dan jenis tersebut segera diikuti oleh
sederet buku dengan isi relegius, begitu pula dengan buku Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata yang memberikan warna baru dalam kancah
bacaan Indonesia sekarang yang dapat memberi inspirasi pembacanya.

Buku bertema seks meskipun masih laku terjual, tetapi sudah mulai
tersisih demikian pula buku misteri dan genre ?teenlit? yang sempat
meledak beberapa waktu lalu.

?Karya sastra akan bangkit kembali ketika masyarakat mulai mapan,
gejolak sosial sudah stabil, karena setiap orang pasti menginginkan
keindahan,? ujar Julius.

Namun ia juga sangat mengharapkan peran pemerintah untuk memotivasi
generasi muda dengan menghidupkan kembali pelajaran kesusastraan di
sekolah.

Penyair F Rahardi juga mengamati kelesuan seni prosa di Indonesia saat
ini dengan mengamati pertumbuhan penulis sastra yang amat sedikit.

?Setelah era Danarto, paling-paling hanya muncul Seno Gumira, Agus
Noor dan segelintir kecil lainnya,? ujar Rahardi.

Namun, prosa Indonesia menurutnya masih menunjukkan geliatnya
dibanding dengan puisi yang bisa disebut ?tidak berderak?, kata
Rahardi yang saat ini menjadi salah seorang juri lomba membuat puisi
yang diselenggarakan dalam rangka peringatan Bulan Bahasa 2008 oleh
Pusat Bahasa.

Buku-buku laris saat ini seperti Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi,
menurut dia, memiliki kualitas yang masih jauh di bawah karya sastra
era Pujangga Baru bahkan juga dibandingkan dengan era 1970-an.

?Isinya tidak semenggugah `Langit Makin Mendung` misalnya,? kata
Rahardi yang juga melihat bahwa era Chicklit dan eksploitasi seks
sudah berakhir.

Tema seks menurutnya pernah sangat mengemuka pada masa Motingge Busye,
dan sepuluh-lima tahun lalu berulang melalui karya Ayu Utami.

?Bedanya, kalau era Busye mengemukakan eksploitasi seks oleh penulis
laki-laki,. Sementara era Ayu Utami justru dilakukan oleh penulis
perempuan sendiri.?ujarnya.

Pergeseran selera pembaca dan pertumbuhan penulis bukan hanya terjadi
di Indonesia, tetapi sudah menggglobal. Sebutan Chiclit muncul ketika
penulis-penulis perempuan di belahan barat menghadirkan kisah-kisah
kaum perempuan, muda dan tinggal di kota (urban). Isinya menceritakan
diri mereka sendiri.

Gejala itu segera menjalar ke Indonesia, bahkan kemudia muncul penulis
yang amat belia, para remaja yang karyanya dikelompokkan dalam karya
teenlit.

Baik Rahardi maupun Julius melihat bahwa para penulis maupun pembaca
kelompok usia tersebut, kini sudah tumbuh dewasa dan selera menulis
ataupun membaca mereka sudah bergeser, sehingga era seks, kisah kaum
urban juga sudah ditinggalkan pembaca.

Kebutuhannya saat ini adalah kisah-kisah religius, bahkan para
pembacanya cenderung membaca buku-buku jenis tersebut di muka umum
agar diketahui orang banyak. Nanti jika tema keagamaan dan motivasi
sudah reda, pasti akan terjadi pergeseran lagi dan kesusastraan pun
akan bangkit kembali, kata Julius. (*)

COPYRIGHT © 2008

No comments:

Post a Comment

KOMEN ANDA