ANAK-ANAK AHMAD JAAFAR AR-RAWI

ANAK-ANAK AHMAD JAAFAR AR-RAWI

Friday, August 12, 2011

SASTRAWAN MINANGKABAU DULU



SASTRAWAN MINANGKABAU DULU MEMBUNGKUS IDEOLOGI DENGAN RANCAK: Perbincangan atas Dua Roman Balai Pustaka
Ditulis oleh Eva Krisna
Petikan daripada Horison Online
Pendahuluan
1.1 Tulisan dan Ideologi
Menulis sesuatu, apapun jenis tulisan itu, tentulah memiliki suatu maksud tertentu. Sangat janggal kedengarannya bila ada orang yang menyatakan bahwa ia menulis karena dorongan keinginan semata. Lazimnya, setiap orang menulis memiliki maksud yakni menyampaikan perasaan atau pikirannya melalui tulisannya. Masalah tulisan itu akan dibaca orang dan perasaan atau pikirannya tersebut akan ditanggapi oleh orang lain adalah persoalan selanjutnya bagi penulis. Persoalan pertama adalah menuliskannya dengan baik dan dengan segenap kemampuan.
 Persoalan perasaan, pikiran, atau gagasan yang disampaikan pada orang lain, dalam kehidupan sehari-hari, lebih dikenali dengan istilah ide. Seringkali kita mendengar kalimat, “Saya punya ide” atau “Anda memiliki ide? sampaikanlah.” Secara khusus, ide memiliki keterkaitan erat dengan pikiran atau gagasan manusia. Bila pikiran atau gagasan tersebut teruji kebenaran, fungsi, dan manfaatnya bagi manusia, maka ia akan berterima menjadi pandangan hidup bagi manusia secara pribadi atau manusia secara luas (masyarakat) tempat gagasan tersebut dilahirkan. Selanjutnya, pikiran atau gagasan yang berterima tersebut dapat dikembangkan menjadi kumpulan konsep bersistem yang pada akhirnya dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup seseorang atau golongan. Destuut de Tracy (dalam Moeliono-Budianto, 2004:128-130) merumuskan hal demikian sebagai ideologi, istilah yang kita pakai sampai hari ini. Dengan kalimat lain dapat pula dikatakan bahwa ideologi adalah cita-cita (hasil pikiran berupa gagasan) yang ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam masyarakat. Para pencetus atau pendukung (penggagas) ideologi biasanya menyebarkan ideologi tersebut kepada masyarakat secara luas. Cara penyebarannya dapat saja secara terbuka atau malah secara sembunyi-sembunyi, tergantung kepada situasi dan kondisi setempat.
Kembali kepada maksud yang melatarbelakangi penciptaan suatu tulisan, sangat terbuka kemungkinan bahwa tulisan memuat ideologi yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya. Sang penulis memiliki perasaan, pikiran, atau gagasan yang ia harapkan dapat diterima oleh pembacanya. Demikian pula halnya karya sastra sebagai karya kreatif, sangat mungkin bahwa ia merupakan sarana bagi pengarang untuk menyampaikan ideologi yang bertujuan agar masyarakat pembacanya menjadikan ideologi tersebut sebagai arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup bersama. Hal itu dapat dilihat misalnya melalui karya sastra yang dilahirkan pada masing-masing periode atau zaman. Karya sastra yang tercipta pada zaman penjajahan akan memuat ideologi yang bersesuaian dengan zaman itu, seperti cita-cita untuk merdeka, antipenjajah, atau malah menjadi pendukung kolonialisme tersebut.
Tulisan ini khusus membahas ideologi yang disampaikan pengarang zaman penjajah Belanda melalui karya mereka, yakni sekelompok sastrawan yang dikenal dalam sejarah sastra Indonesia sebagai “Sastrawan Angkatan Balai Pustaka.”  Kekhasan sastrawan Balai Pustaka di samping sastrawan angkatan lain adalah karena mereka harus bekerja keras antara dorongan menyampaikan ideologi dan kepentingan (kebutuhan) untuk mempublikasikan tulisan melalui penerbit yang dianggap legal di zaman itu. Di satu sisi, ideologi yang disampaikan bermuatan antikolonial; di sisi lain, penerbit legal dan dapat dibaca banyak orang ketika itu (Balai Pustaka) adalah milik pemerintah kolonial yang ingin ditentang tersebut. Disanalah kepiawaian (sekaligus perjuangan) para sastrawan tersebut sangat dituntut, yakni membungkus ideologi dengan serancak-rancaknya. Hal itu sekaligus memperlihatkan fungsi sastra sebagai pembawa semangat zaman.
1.2 Sekilas tentang Balai Pustaka pada Masa Awal
Tentang sejarah berdirinya penerbit Balai Pustaka sudah sering dibahas dalam berbagai telaah, misalnya pada periodisasi kesusastraan Indonesia. Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) didirikan pada tanggal 22 September 1917. Lembaga ini bertugas menggantikan Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan tahun 1908. Kedua lembaga ini sesungguhnya didirikan sebagai politik balas jasa, politik etis, atau ethischepolitiek yang harus diberlakukan Belanda untuk Indonesia atas desakan negara-negara lain.
Pendirian Balai Pustaka tentu saja bukan dilatari oleh sekadar pelaksanaan politis etis, namun yang lebih utama adalah untuk mengontrol penerbitan karya sastra yang ditulis oleh kaum pribumi. Sebagai penerbit, Balai Pustaka mensyaratkan beberapa hal untuk karya-karya yang akan diterbitkannya, di antaranya tidak berisi hasutan untuk menentang Belanda dan menonjolkan kehebatan Belanda sebagai bangsa penjajah. Hal itu berkaitan dengan politik kolonial, yakni melegetimasi kekuasaan di tanah jajahannya. Akibatnya, roman-roman terbitan Balai Pustaka cenderung mengisahkan stereotipe pribumi yang inferior dan Belanda (Eropa) yang superior. Tokoh-tokoh pribumi selalu digambarkan dengan watak jahat, bodoh, percaya takhayul, dan bernasib malang.  Stereotipe tersebut tampaknya berkaitan dengan realitas kehidupan sosial eknonomi pribumi pada masa itu, yaitu sangat terkebelakang dan tingkat buta huruf yang sangat tinggi. Mereka menempati urutan terbawah dalam stratifikasi sosial dan kultural di Hindia Belanda (Krisna, 2004:28). Sementara itu, tokoh Belanda berwatak baik, pintas, berpikir logis, dan pembawa kemuliaan.
Penerbitan karya sastra di luar Balai Pustaka oleh pihak swasta tentu saja di luar jangkauan kontrol Belanda. Untuk mengatasi hal itu, Belanda mempropagandakan bahwa karya sastra-karya sastra itu sebagai bacaan liar, picisan, cabul, pemakaian bahasa yang tidak teratur, dan agitator. Penerbitnya disebut sebagai saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan tidak bertanggung jawab.
Disinilah letak kepiawaian sastrawan pribumi, khususnya dua sastrawan asal Minangkabau yang justru memanfaatkan penerbit kolonial itu untuk menyusupkan ideologi antikolonial dan menyampaikan semangat untuk merdeka. Dengan rancaknya, Marah Rusli melalui Sitti Nurbaya dan Abdul Muis melalui Salah Asuhan membungkus ideologi mereka dengan tema-tema “palsu”tokoh-tokoh yang disamarkan watak kebangsaan mereka. Hal yang dilakukan oleh Marah Rusli dan Abdul Muis persis seperti yang diajarkan oleh filsafat Minangkabau yang berbunyi: manunduak sakapalo nak lalu sabatang badan (merunduk sebatas kepala agar lolos seluruh tubuh). Maknanya, bersiasatlah agar segala keinginan dapat dicapai.
Pembahasan
Membahas teks sastra sesuai konteks zamannya adalah bagian dari kajian sastra sejarah dan di dalamnya terdapat pula pendekatan pascakolonial, yakni telaah terhadap teks sastra yang lahir di masa kolonial, akibat kolonial, ataupun ditelaah setelah masa kolonial berlalu. Telaah ini penting dilakukan untuk memperoleh gambaran betapa pentingnya peran para sastrawan Minangkabau dulu dalam menyadarkan masyarakat tentang arti pentingnya kemerdekaan bagi suatu bangsa.
Menurut Kartodirdjo (1975:82), sejak dinaikkannya pajak rakyat, pemerintah Belanda memperoleh keuntungan sebesar 24 juta gulden pada tahun 1921, 28 juta gulden pada tahun 1922, 32 juta gulden pada tahun 1923, dan 34 juta gulden pada tahun 1925. Di pihak rakyat tentu saja mengalami kesengsaraan yang teramat sangat karena harus menyetorkan sebagian besar penghasilan mereka kepada penjajah. Hal itu mengakibatkan munculnya berbagai pemberontahan di Hindia Belanda (Indonesia), termasuk di Kota Padang. Rakyat Koto Tangah bergolak melawan pemberlakuan belasting (pajak) yang sangat tinggi atas tanah garapan, hewan piaraan, dan perdagangan.
Marah Rusli berpandangan bahwa pemberlakuan belasting setinggi-tingginya sangat menyengsarakan rakyat. Selain itu, propaganda bahwa Belanda adalah bangsa yang baik harus ditolak sehingga tidak muncul pengagungan terhadap Belanda dan keinginan kaum pribumi untuk meniru atau bermimikri menjadi Belanda. Mengarang roman yang terang-terangan bersifat propaganda tentulah tidak akan bisa terbit di Balai Pustaka dan akan menjadi bacaan liar. Untuk itu, sastrawan Minangkabau tersebut menciptakan sosok Datuk Maringgih yang tamak, culas, jelek, dan gila perempuan. Namun, di akhir cerita ia adalah tokoh penggerak masyarakat melawan Belanda dalam menentang belasting. Ia pun menciptakan karakter Samsubahri menjadi tentara Belanda yang sangat berjasa dan dianugrahi berbagai kehormatan oleh Belanda. Bahkan, setelah  saling berbunuhan dengan sesama bangsanya sendiri, Samsubahri dimakamkan dengan upacara kebesaran militer. Sebaliknya, diceritakan pula bahwa pemakaman pemuda kehilangan jatidiri karena cinta itu tidak dihadiri oleh seorang pun bangsa pribumi. Ketika roman Sitti Nurbaya ditelaah dengan pendekatan pascakolonial, maka tema “palsu” kawin paksa dan penentangan terhadap adat digantikan oleh tema perlawanan terhadap kolonial yang didasari oleh spirit perjuangan, kemerdekaan, dan kebangsaan.
Abdul Muis pun menggugat sistem menggugat sistem stratifikasi sosial yang diberlakukan pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia. Ia tidak setuju terhadap pembedaan golongan masyarakat atas hierarki yang terdiri atas Belanda, Indo Eropa, Asia Timur, Asia Barat, bangsawan, dan pribumi (inlander) sebagai golongan masyarakat yang paling bawah. Abdul Muis memandang bahwa hal itu sangat  berpengaruh secara psikologis terhadap bangsa pribumi. Timbul keinginan masyarakat pribumi untuk menjadi Belanda, seperti Hanafi, pemuda Minangkabau yang lupa pada akar budaya tempat ia dilahirkan akibat pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan bergaulnya di tengah masyarakat Eropa. Bagi Hanafi, yang hebat hanyalah Eropa yang modern, sedangkan suku bangsa Minangkabau dan adatnya adalah hal yang menjijikkan. Tokoh Hanafi sengaja digambarkan demikian sebagai wujud kegalauan terhadap prilaku sebagian pemuda masa itu yang terlena dalam propaganda bangsa Barat sebagai ras unggulan dan melupakan kewajiban mereka terhadap nasib bangsanya yang sedang berada dalam cengkeraman penjajah.
Sama seperti Marah Rusli, Abdul Muis pun harus bersiasat agar karyanya dapat terbit di Balai Pustaka. Konon, Abdul Muis harus merelakan perombakan kisah tokoh Corrie du Busse –yang pada naskah aslinya meninggal karena penyakit kelamin akibat pergaulan bebas sebagai bangsa Eropa– menjadi meninggal karena sakit paru-paru akibat merana oleh pernikahannya dengan Hanafi. Abdul Muis harus tunduk pada doktrin bahwa Eropa selalu baik dan benar. Perempuan Indo Perancis itu dikisahkan menikah karena kasihan kepada pemuda pribumi yang sangat berkeinginan menjadi bagian dari masyarakat Eropa itu. Untuk itu, ia harus menanggalkan kebebasan perempuan Eropa untuk meninggalkan kebiasaan bergaul di luar rumah, merokok, dan hidup sederajat dengan kaum laki-laki. Dari sudut bangsa Eropa, perkawinan Corrie-Hanafi hanyalah mendatangkan kesengsaraan bagi Corrie.
Sebagai pertanggungjawaban terhadap pemuda pribumi, Abdul Muis tetap menyusupkan ideologi kebangsaan dalam romannya itu. Ia menggambarkan betapa sengsaranya hidup tanpa akar budaya sendiri seperti yang dialami tokoh Hanafi yang tertatih-tatih menggapai pengakuan menjadi bangsa Eropa. Setelah pengakuan legal diperoleh, ia bukannya mendapat perlakuan terhormat, malah dikucilkan oleh bangsa yang menjadi idamannya itu. Bahkan, ketika meninggal, kaum keluarganya tidak mengizinkan ia dikuburkan di pandam pekuburan suku. Abdul Muis menggambarkan hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie) dalam rangka penyadaran kepada kaum muda bahwa betapapun bangsa Barat (Belanda) tetap memandang rendah kepada bangsa Timur (Indonesia), seperti ucapan du Busse kepada Corrie anaknya bahwa Timur tinggal Timur, Barat tetap Barat dan tidak mungkin menjadi satu. Hal itu sebagai pembenaran terhadap hegemoni bangsa kolonial.
Penutup
Melalui karyanya masing-masing, Marah Rusli dan Abdul Muis menyampaikan ideologinya kepada pembaca, khususnya kepada generasi muda akan pentingnya hidup berdaulat sebagai bangsa merdeka. Keduanya seperti menunjuk-ajari dan mengingatkan kaum muda terhadap kesengsaraan hidup di bawah kekuasaan penjajah. Baik Marah Rusli maupun Abdul Muis sama-sama menggagas pentingnya mempertahankan jatidiri sebagai kaum pribumi yang seharusnya memiliki pandangan tentang persamaan derajat dengan bangsa apapun di dunia. Persamaan derajat (egaliter) itu sesungguhnya adalah ajaran filsafat Minangkabau yang dinyatakan dalam pepatah-petitih berbunyi, tagak samo tinggi; duduak samo randah. Pepatah-petitih tersebut mengandung makna tentang pentingnya peniadaan stratifikasi sosial yang membuat seseorang menjadi budak terhadap seseorang  lain yang menjadi tuannya. Kedua sastrawan asal Minangkabau itu membungkus ideologi tidak saja dengan rancak, namun juga dengan arif seperti pengarang anonim Kaba Gombang Patuanan yang menggelorakan semangat antipenjajah dengan memetaforakan tokoh-tokoh penjajah sebagai Rajo Unggeh Layang, Rajo Sianggarai, dan Rajo Sipatokah.
Tokoh Samsubahri tak semestinya menjadi tentara KNIL hanya karena persoalan cinta. Ia seharusnya berpikir dan bertindak dalam perspektif kebangsaan, yakni membela tanah airnya dari keterpurukan akibat penjajahan, bukannya menjadi penumpas pemberontakan yang pada hakikatnya adalah perjuangan bangsanya sendiri melawan kesemena-menaan. Tokoh Hanafi tak semestinya bermimikri menjadi Belanda hanya karena ingin beristrikan orang Eropa. Pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan pergaulan seharusnya membuka mata Hanafi agar kritis melihat kesenjangan sosial yang sengaja diciptakan Belanda untuk memarjinalkan bangsa jajahannya sehingga dapat menguasainya dengan mudah. Tentang perbedaan antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang selalu didoktrinkan Belanda, sesuai dengan pepatah-petitih yang berbunyi: atah jo bareh ‘ndak ka mungkin sabaua; ameh jo loyang ‘ndak ka mungkin basatu (atal dan beras takkan mungkin berbaur; emas dan loyang takkan mungkin bersatu). Kalimat kearifan itu bermakna bahwa selama stratifikasi sosial masih diberlakukan, maka persamaan derajat tidak akan pernah ada. Sebagai orang Minangkabau, Abdul Muis menjadikan kebijaksanaan dan kearifan lokal (wisdom and local knowledge) Minangkabau itu sebagai dasar baginya dalam menyusun kerangka ideologi yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
Rujukan:
Kartodirdjo, Sartono, dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Vol. V. Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan
Krisna, Eva. 2004. “Roman-Roman Balai Pustaka dalam Perspektif Pascakolonial” dalam Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Salingka edisi Desember 2004, halaman 24—42.
Moeis, Abdul. 1928. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeliono-Budianto, Irma. 2004. Ideologi Budaya. Jakarta: Kota Kita.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusli, Marah. 1922. Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka.

Thursday, May 5, 2011

DATO’ DR. AHMAD KAMAL ABDULLAH


SASTERAWAN NEGARA KE-11
DATO’ DR. AHMAD KAMAL ABDULLAH


Kemala atau yang dikenali juga sebagai Akmal Jiwa merupakan nama pena kepada Dato’ Dr. Haji Ahmad Kamal bin Abdullah. Beliau dilahirkan di sebuah kampung di Gombak, Selangor. Beliau merupakan anak ketiga daripada sepasang suami isteri, iaitu Abdullah bin Daud (meninggal pada tahun 1945) dengan Rukiyah binti Amir. Sebelum menikahi Rukiyah, Abdullah telah beristeri dengan seorang perempuan bernama Siti Hawa yang menetap di Rawang, Selangor. Daripada perkahwinan itu, mereka telah mendapat seorang puteri. Ahmad Kamal mempunyai empat orang adik beradik seibu sebapa. Abangnya yang sulung bernama Kamaruzzaman, meninggal semasa kecil. Selepas itu beliau mendapat seorang kakak perempuan bernama Narimah yang lahir pada tahun 1939. Pada 30Januari 1941lahir pula putera yang diberi nama Ahmad Kamal. Adik Kemala, Taufik meninggal semasa kecil.


Ahmad Kamal bin Abdullah lahir dalam keluarga terdidik pada masa itu. Ayahnya merupakan lulusan Junior Cambridge dari Malay College Kuala Kangsar, Perak, iaitu sebuah sekolah elit yang khusus didirikan oleh penjajah Inggeris untuk mendidik anak raja-raja dan elit baru Melayu. Datuknya Haji Daud bin Baginda Muda berasal dari Pariaman, Rao Minangkabau membawa diri ke Kolang dan terus menetap di Ketari, Bentong, Pahang dan menikahi Naimah iaitu anak perempuan kepada penghulu Setapak, bernama Khatib Koyan. Nama moyang Ahmad Kamal ini diabadikan pada nama sebatang Jalan di Kampung Baru, Kuala Lumpur iaitu Jalan Katib Koyan.


Rukiyah binti Amir (meninggal pada 15 Jun 1957), merupakan ibu yang penyayang dan sering bercerita serta membacakan syair-syair kepada si kecil Ahmad Kamal sebelum tidur. Kelembutan ibu dan dendangan syair serta cerita-cerita ini membekas dalam jiwa Ahmad Kamal. Lanjutan daripada itu, sejak Darjah 5 di Sekolah Melayu Kampung Batu, Kuala Lumpur lagi Ahmad Kamal sudah mula memupuk citarasa seninya dengan membaca buku yang terdapat di perpustakaan sekolah tersebut. Pada masa itu beliau sudah terdedah dengan Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, Hamlet dan bayak lagi karya yang terdapat dalam perpustakaan kecil di sekolah tersebut. Apabila dia berpindah ke Sekolah Melayu Prince’s Road, Jalan Raja Muda, Kampung Baru, Kuala Lumpur, Maaruf Mahmud, Guru Besar sekolah tersebut yang terkenal sebagai pengarang sastera kanak-kanak, telah melantiknya menjadi Setiausaha Taman Bacaan iaitu perpustakaan sekolah tersebut. Apabila Ahmad Kamal mula berkeja di Dewan Bahasa dan Pustaka pada tahun 1968 beliau bertugas dalam satu pejabat dengan Maaruf.


Pada tahun 1956, Ahmad Kamal terpilih menjadi guru Pelatih, mengajar di Sekolah Melayu Jeram, Kuala Selangor. Dia berulang alik setiap hari Sabtu menghadiri kelas Guru Pelatih di Sekolah Melayu Kampung Baru dan kemudian kelas itu berpindah pula ke Sekolah Melayu Tanjong Karang, Selangor berdekatan dengan tempat beliau bertugas. Pada tahun 1958 beliau terpilih melanjutkan pelajaran ke Maktab Perguruan Sultan Idris, Tanjong Malim, Perak, dalam kelas A, iaitu kelas bagi guru pelatih yang terpandai yang mendapat markah tertinggi untuk memasuki maktab tersebut. Di sini dia terdidik dalam bidang akademik bagi membolehkan dia mengambil peperiksaan LCE Type, iaitu Sijil Rendah Pelajaran dalam Bahasa Melayu yang khas untuk pelajar –pelajar MPSI dan MWTC bagi membolehkan mereka mengikuti kursus Perguruan di maktab-maktab tersebut. Ketika ini MPSI sudah mula mengambil pelajar-pelajar daripada sekolah menengah Inggeris. Kelompok pelajar seangaktan dengan Kemala, dan kelompok pelajar setahun sebelumnya, terpakasa belajar lima tahun, tiga tahun untuk persediaan akademik dan dua tahun lagi untuk ilmu perguruan. Ahmad Kamal berjaya memperoleh sijil tersebut dan seterus mengikut kursus perguruan dan tamat pada tahun 1963 dengan dianugerahkna Sijil Perguruan Sekolah Rendah Kementerian Pelajaran Persekutuan Tanah Melayu dengan ditauliahkan mengajar dua bahasa, iaitu Bahasa Melayu sebagai bahasa utama dan Bahasa Inggeris sebagai bahasa kedua.


Pendidikan akademik beliau berikutnya, bersifat autodidik, iaitu belajar sambil bekerja, melalui pos dan pengajian luar kampus. Dengan cara ini beliau berjaya memperoleh Sijil Pelajaran Malaysia (1963), Sijil Tinggi Persekolahan (1974), Ijazah Sarjana Muda Sastera Kepujian (Universiti Sains Malaysia, 1980), Sarjana Sastera (Universiti Sains Malaysia,1985) dan Doktor Falsafah (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2000). Di celah-celah kesibukan kerja dan belajar sambil bekerja itu, beliau sempat pula berkursus BMP, di Makati, Filipina (1990) dan menyertai International Writing Program, Universiti Iowa, Iowa City, U.S.A. (1993), sebuah institusi akademik dan penulisan yang tersohor di dunia, di bawah pimpinan profesor dan penyair Amerika yang terkenal iaitu Dr. Paul Engle.


Ahmad Kamal bin Abdullah telah memulakan kerjaya penulisannya sejak tahun 1954 lagi, iaitu sejak di bangku sekolah Melayu. Sehingga kini, selama 57 tahun, dia terus menerus berkarya tanpa mengenal jemu. Bakatnya diserlahkan semasa beliau belajar di Maktab Perguruan Sultan Idris. Sewaktu itu karya-karyanya telah menjengah di dada-dada akhbar dan majalah tanah air, antaranya Utusan Pamuda, Waktu, Hiburan, Mutiara, Mastika, Bulanan Malaya, Utusan Zaman, dan Berita Minggu. Beliau juga mementaskan dramanya berjudul “Lembayung Senja” di Dewan Suluh Budiman, di MPSI. Seterusnya, beliau tidak jemu-jemu menulis hatta apabila beliau ditukarkan mengajar di daerah pedalaman di Selangor pada masa itu, seperti di Sekolah Melayu Tiram Buruk, Tanjong Karang (1963-1967) dan di Sekolah Teluk Gong, Kelang (1968). Di situ beliau bergaul bersama petani dan mereka yang kelaparan tanah. Jerit derita, dan sumsum sengsara para petani dan para marhain Tanjong Karang dan Teluk Gong itu terungkap tajam dalam sajak-sajak yang sebahagiannya termuat dalam kumpulan puisinya Timbang Terima (1970).


Korpus karya Kemala terdiri daripada genre puisi, sedikit dalam genre cerpen, drama dan cerita kanak-kanak, tetapi banyak dalam penulisan esei dan buku ilmiah. Bakatnya merendang dan namanya menjulang, apbila beliau berkeja di Dewan Bahasa dan Pustaka sejak 1968, bermula sebagai penolong penyunting, menjadi edior majalah-majalah sastera dan berbagai lagi, akhirnya bersara pada tahun 1996 sebagai Ketua Bahagian Kesusasteraan Bandingan.


Jumlah puisi yang dihasilkan Kemala banyak sekali, dan ini terbukti daripada kumpulan puisi perseorangannya yang sudah terbit yang berjumlah 10 buah dan sebuah lagi menunggu kelahirannya daripada penerbitan Dewan Bahasa dan Pustaka. Judul-judul puisi perseorangannya ialah Timbang Terima (1970), Meditasi (1972), Era (1975), Kaktuskaktus (1976), A’yn (1983), Pelabuhan Putih(1989), Titir Zikir (1995), MIM (1999), Ziarah Tanah Kudup (2006), Syurga ke Sembilan (2009) danSumsum Bulan Rawan yang akan segera terbit. Puisinya juga termuat sekurang-kurangnya dalam 25 antologi. Kumpulan cerpennya yang telah terbit berjumlah 3 buah, cerpen dalam antologi sebanyak 8 buah. Kumpulan cerpen perseorangannya ialah Anasir (1983), Firuzia, Firuzia (1990) dan Laut Takjub 25 Cerpen Pilihan (2010). Dramanya sebanyak 4 buah iaitu Di Bumi Lain (1976), Malam Perhitongan(1966), Anna (1972) dan Kelonsong (1985). Buku kanak-kanak 2 buah iaitu Melor, Melur Si Bunga Melur (1974) dan Lani Anak Tani (1977). Jumlah kajian ilmiah dan esei yang dihasilkannya banyak sekali.


Sejak tahun-tahun 1960-an Kemala telah menjadikan “Kebenaran, kejujuran, keindahan, ketuhanan dan kemanusiaan” sebagai landasan falsafah penulisannya. Semua itu dimantapkannya apabila beliau menjadikan “Cinta” sebagai inti dalam koleksi puisi Meditasinya. Meditasi menyorot hakikat kehidupan yang tidak dapat dipisahkan daripada cinta. Cinta yang luas dan universal, yang semuanya berasal daripada cinta Ilahi meman sesuai dengan ajaran Islam seperti yang difahami Kemala, yang dalamnya manusia dilahirkan sebagai khalifah Allah di dunia yang fana.


Sepanjang lebih setengah abad berkarya, Ahmad Kamal Abdullah telah mendapat banyak anugerah dan penghargaan daripada dalam dan luar negara. Antaranya ialah Anugerah S.E.A Write Awards daripada Thailand (1986), Augerah Pujangga daripada Universiti Pendidikan Sultan Idris (2002), Hadiah Sastera Malaysia (1972,1975,1976,1992/93,1995), dan Hadiah Sastera Perdana (1997, 1998/99). Pada tahun 1986, beliau dianugerahkan pingat AMN oleh Baginda Yang DiPertuan Agong dan pada 13 Mac 2001, DYMM Sultan Selangor menganugerahkan Darjah Kebesaran Dato’ Paduka Mahkota Selangor (DPMS) dengan gelaran Dato’. Kini beliau bertugas sebagai Sarjana Tamu di Univeriti Putra Malaysia.


Di samping pengharagaan tersebut, dunia akademik turut memberi perhatian terhadap karya-karya beliau dengan mengkajinya secara mendalam. Setakat ini didapati 8 kajian yang terdiri daripada latihan ilmiah, desertasi dan tesis Ph.D telah menjadikan karya-karya Kemala sebagai bahan penelitian. Sejumlah 46 esei menanggapi karya beliau telah pula terhasil oleh berbagai kalangan, daripada para sarjana hinggalah kepada wartawan dan pengkagum keindahan seni sastera ciptaan beliau.


Sesungguhnya, karya-karya Kemala mempunyai mutu yang tinggi, dengan daya renung yang dalam, daya cipta yang menarik dan nilai estetik yang mengkagumkan. Tidak hairanlah karya-karyanya, terutama puisi, bukan sahaja diminati dan menjadi ikutan kepada genarasi baru, malah diminati oleh para sarjana dalam dan luar negara. Hal ini terbukti dengan jumlah hadiah, anugerah dan penghargaan yang diterimanya serta kajian-kajian dan tanggapan-tanggapan pencnita karya seninya seperti yang disebutkan di atas. Lebih jauh daripada itu, karya-karyanya, terutama puisi telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing seperti bahasa Inggeris, China, Urdu, Perancis, Jerman, Belanda, Slovania, Sepanyol dan Serbo-Croatia.


Ahmad Kamal Abdullah juga terkenal sebagai peneroka bermacam jenis acara dan aktiviti yang dapat memberi kehidupan kepada sastera. Antaranya beliaulah tokoh yang bertanggungjawab mengasaskan tradisi baca puisi pada peringkat antarabangsa di Malaysia, iaitu Pengucapan Puisi Dunia Kuala Lumpur yang bermula pada tahun 1986. Dalam dunia pergerakan sastera, beliau telah mengasaskan penubuhan Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia pada tahun 1993. Tidak kurang pula pentingnya, pada tahun 1989 beliau menjadi utusan Dewan Bahasa dan Pustaka ke Eropah menemui para profesor di sana dengan membawa idea bagi penubuhan Kursi Pengajian Melayu. Beberapa tahun kemudian, tertubuhlah Kursi Pengajian Melayu di Universiti Leiden, Belanda.Tambahan daripada itu, beliau sendiri amat aktif membaca puisi, bukan sahaja dengan menjelajah ke pelosok tanah air, malah ke merata kota besar di dunia, termasuk Sydney,Canberra, Melbourne, Perth, Jakarta, Den Pasar, Seoul, Sturga, Hongkong, Tokyo, Koln, Paris, Santa Cruz, London, Iowa City, Sarajevo, Solo dan Bandung. Yang amat menonjol daripada tradisi baca puisi ini ialah gaya, sebutan dan rentak suara pembacaannya yang lunak yang menjadi ikutan dalam kalangan generasi muda. Bagitu pula, Kemala amat aktif membentangkan kertas kerja memasyhurkan sastera Melayu moden, terutama puisi, pada pelbagai seminar kebangsaan dan antarabangsa, di Malaysia dan di pusat-pusat pengajian Melayu di seluruh dunia.


Sumbangan Kemala terhadap dunia puisi dan sastera negara dapat diringkaskan seperti berikut:
1. 1. Penglibatan dalam pelbagai genre sastera.
 Puisi, drama, cerpen dan cerita kanak-kanak, esei dan kritikan serta terjemahan. Yang paling menonjol ialah puisi, walaupun yang lain-lain genre itu turut mendapat perhatian pembaca dan terjamin mutunya. Puisi: 25 antologi, 10 kumpulan; drama: 4; Cerpen: 8 antologi, 4 kumpulan; Cerita kanak-kanak: 3.
1. 2. Sejarah Sastera
 Tokoh utama dalam puisi kerohanian berunsur Islam dan tokoh penyair Melayu Islam selepas Amir Hamzah.
 Tokoh penting dalam penulisan puisi mulai periode 60-an, memperhalus pengucapan puisi Melayu moden di Malaysia sebagai penanda pemisahan dengan periode 50-han (bersama-sama dengan rakan-rakan seangkatannya)
1. 3. Pergerakan Sastera
 PENA- Ketua Satu (1983-1986)
 GAPENA- AJK (1970-1972),SetiaUsaha Satu Yang Pertama (1972-1975)
 Persatuan Kesusasteraan Bandingan, Pengasas dan Presiden (1993 hingga sekarang)
 Persatuan Suluh Budiman - Ahli
 Persatuan Penulis Selangor- Ahli
 World Muslim Writes League (Madinah)- Ahli
 Hadiah Sastera Malaysia (1983-1986)- Panel
 S.E.A Write Award bagi Malaysia (2000)- Panel Penilai Akhir
 Hadiah Sastera Berunsur Islam DBP(2003)- Ketua Panel
 IQ-International Sebuah Jurnal Kesusasteraan Bandingan, Philladephia, Amerika Syarikat (1993- )- Editorial advisory council for Asia
 Hadiah Sastera Perdana (2002-2003)- Ahli Panel
 DBP-AJK Istilah Puisi, Ensiklopedia Kebudayaan Melayu-Pakar Kesusasteraan Melayu
 Majlis Kebudayaan Negeri Selangor(1985-86)- AJK
 Sayembara Mengarang Puisi Darul- Iman bagi seluruh Nusantara(1996)- Panel Penilai
 Sayembara Menulis Puisi Berunsur Islam(1998)- Panel Penilai
 Menubuhkan Bahagian Kesusasteraan Bandingan Malaysia di Dewan Bahasa dan Pustaka(1956)
 Pengucapan Puisi Dunia (1986)- Idea dan memperjuangkannya dan sekarang telah jadi tradisi dan berkembang Acara Baca Puisi.
 Pimbinaan Bangunan Teater- turut member idea pembentukan Panggung Negara (sekarang Istana Budaya)bersama-sama PENA (1973-)
 Pertemuan-pertemuan sasterawan dan Baca Puisi dan ceramah sastera seluruah dunia: Pertemuan Sasterawan Indonesia (1976)-Peserta, Puisi Asean (1978)-Peserta, Apresiasi Penyair Puncak Bali (1983) –Peserta,Ceramah di Hankuk Universiti,Seoul, Korea(1985)- Penceramah Tamu dan Baca Sajak, Struga Poetry Evening di Macedonia-
Baca Puisi dan simpusium-Peserta.
 Penubuhan Kursi Pengajian Melayu di Eropah- 1989 Duta Sastera ke Eropah bagi pihak DBP menyampaikan idea dan misi dari DBP kepada tokoh-tokoh Pengajian Melayu di Eropah bagi penubuhan Kursi Pengajian Melayu di Eropah.
1. 4. Pengembangan Ilmu Sastera.
 Mengkaji sastera dan menulis skripsi, khususnya dalam bidang puisi moden B.A, M.A., Ph.D
 Mengkaji sastera dan melahirkannya dalam tulisan-tulisan ilmiah dan membentangkannya dalam berbagai seminar dalam dan luar negeri serta menerbitkannya dalam penerbitan berkala dan dalam bentuk buku, sama ada secara individu mahupun secara bersama dengan pengarang lain. 15 Buku kajian.
 Karyanya menjadi bahan kajian dari peringkat B.A hinggalah Ph.D merentasi bukan sahaja bidang Pengajian Melayu, malah dalam bidang Islam. Dikaji oleh pelbagai sarjana, termasuk V.I. Braginsky, Jelani Harun, Nancy Nanny (USA), Maman S. Mahayana (Indonesia), Lalita Sinha, Arbak Othman, dan Mana Sikana..
 Setakat ini telah dua buah Ph.D, khusus menggunakan karya puisi Kemala, terakhir (2010)oleh Abdul Halim Ali dari USPSI.

Sunday, January 16, 2011

KERAJAAN KANDIS "ATLANTIS NUSANTARA"



KERAJAAN KANDIS "ATLANTIS NUSANTARA"
ANTARA CERITA DAN FAKTA
(Sebuah Hipotesa Lokasi Awal Peradaban di Indonesia)

MAKALAH SEMINAR
Oleh:
PEBRI MAHMUD AL HAMIDI
MEI 2009

RINGKASAN

Nenek moyang bangsa Indonesia diduga kuat oleh para Arkeolog adalah ras Austronesia. Ras ini mendarat di Kepulauan Nusantara, dan memulai peradaban neolitik. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa budaya neolitik dimulai sekitar 5000 tahun lalu di kepulauan Nusantara. Bersamaan dengan budaya baru ini bukti antropologi menunjukkan muncul juga manusia dengan ciri fisik Mongoloid. Populasi Mongoloid ini menyebar di kawasan Nusantara sekitar 5000 sampai 3000 tahun lalu dengan membawa bahasa Austronesia dan teknologi pertanian.


Di Nusantara saat ini paling tidak terdapat 50 populasi etnik Mongoloid yang mendiaminya. Budaya dan bahasa mereka tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa, yaitu bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang. Lalu dari manakah populasi Austronesia ini berasal dan daerah manakah pertama kalinya mereka huni di Nusantara ini? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab oleh riset sejarah selama ini. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah pengkajian dan analisis yang komprehensif tentang bukti sejarah yang ada dan menelusuri hubungan historis suatu daerah dengan daerah lainnya. Metode yang digunakan adalah mengumpulkan cerita/tombo yang ada di masyarakat dan penelusuran fakta yang mendukung tombo tersebut.

Kerajaan tertua di Pulau Jawa berdasarkan bukti arkeologis adalah kerajaan Salakanegara dibangun abad ke-2 Masehi yang terletak di Pantai Teluk Lada, Pandeglang Banten. Diduga kuat mereka berimigrasi dari Sumatra. Sedangkan Kerajaan tertua di Sumatra adalah kerajaan Melayu Jambi (Chu-po), yaitu Koying (abad 2 M), Tupo (abad ke 3 M), dan Kuntala/Kantoli (abad ke 5 M). Menurut cerita/tombo adat Lubuk Jambi yang diwarisi dari leluhur mengatakan bahwa disinilah lubuk (asal) orang Jambi, oleh karena itu daerah ini bernama Lubuk Jambi. Dalam tombo juga disebutkan di daerah ini terdapat sebuah istana kerajaan Kandis yang sudah lama hilang. Istana itu dinamakan istana Dhamna, berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh sungai yang jernih. Penelusuran peninggalan kerajaan ini telah dilakukan selama 7 bulan (September 2008-April 2009), dan telah menemukan lokasi, artefak, dan puing-puing yang diduga kuat sebagai peninggalan Kandis dengan ciri-ciri lokasi mirip dengan sketsa Plato (347 SM) tentang Atlantis. Namun penemuan ini perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.


PENDAHULUAN

Nusantara merupakan sebutan untuk negara kepulauan yang terletak di kepulauan Indonesia saat ini. Catatan bangsa Tionghoa menamakan kepulauan ini dengan Nan-hai yang berarti Kepulauan Laut Selatan. Catatan kuno bangsa India menamainya Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah Seberang, yang diturunkan dari kata Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang) dan disebut juga dengan Swarnadwiva (pulau emas, yaitu Sumatra sekarang). Bangsa Arab menyebut daerah ini dengan Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).

Migrasi manusia purba masuk ke wilayah Nusantara terjadi para rentang waktu antara 100.000 sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia purba "out of Africa". Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan ini ketika masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke timur, sisa tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarata), gua Babi dan gua Niah (Kalimantan). Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (imigrasi) dilakukan oleh ras Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM (Wikipedia, 2009).

Bangsa nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang cukup baik, mereka paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).

Kepulauan Nusantara saat ini paling tidak ada 50 populasi etnik yang mendiaminya, dengan karakteristik budaya dan bahasa tersendiri. Sebagian besar dari populasi ini dengan cirri fisik Mongoloid, mempunyai bahasa yang tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa. Bahasa mereka merupakan bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang. Sedangkan di Indonesia bagian timur terdapat satu populasi dengan bahasa-bahasa yang tergolong dalam berbagai bahasa Papua.

Pusat Arkeologi Nasional telah berhasil meneliti kerangka berumur 2000-3000 tahun, yaitu penelitian DNA purba dari situs Plawangan di Jawa Tengah dan Gilimanuk Bali. Penelitian itu menunjukkan bahwa manusia Indonesia yang hidup di kedua situs tersebut telah berkerabat secara genetik sejak 2000-3000 tahun lalu. Pada kenyataannya hingga sekarang populasi manusia Bali dan Jawa masih memiliki kekerabatan genetik yang erat hingga sekarang.

Hasil penelitian Alan Wilson tentang asal usul manusia di Amerika Serikat (1980-an) menunjukkan bahwa manusia modern berasal dari Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lampau dengan kesimpulan bahwa hanya ada satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu Afrika. Hasil penelitian ini melemahkan teori bahwa manusia modern berkembang di beberapa penjuru dunia secara terpisah (multi origin). Oleh karena itu tidak ada kaitannya manusia purba yang fosilnya ditemukan diberbagai situs di Jawa (homo erectus, homo soloensis, mojokertensis) dan di Cina (Peking Man) dengan perkembangan manusia modern (homo sapiens) di Asia Timur. Manusia purba ini yang hidup sejuta tahun yang lalu merupakan missing link dalam evolusi. Saat homo sapiens mendarat di Kepulauan Nusantara, pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih tergabung dengan daratan Asia sebagai sub-benua Sundaland. Sedangkan pulau Papua saat itu masih menjadi satu dengan benua Australia sebagai Sahulland.

Teori kedua yang bertentangan dengan teori imigrasi Austronesia dari Yunan dan India adalah teori Harry Truman. Teori ini mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia berasal dari dataran Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (era pleistosen). Populasi ini peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. Pendapat ini diperkuat oleh Umar Anggara Jenny, mengatakan bahwa Austronesia sebagai rumpun bahasa yang merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar Anggara Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho, 2009).

Teori awal peradaban manusia berada di dataran Paparan Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan oleh Santos (2005). Santos menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis. Hasil analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah seperti piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec, peninggalan peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis geografis (seperti luas wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi, dan cara bertani) menunjukkan bahwa sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda Land merupakan pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan Benua Atlantis.

Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya. Pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Nusantara kuno serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan lainnya kemungkinan besar akan menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri peradaban awal Nusantara yang diduga adalah kerajaan Kandis.
TINJAUAN PUSTAKA
Nusantara dalam Lintasan Sejarah

Kepulauan Nusantara telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya. Sejarah Nusantara ini dapat dikelompokkan menjadi lima fase, yaitu zaman pra sejarah, zaman Hindu/Budha, zaman Islam, zaman Kolonial, dan zaman kemerdekaan. Kalau dirunut perjalanan sejarah tersebut zaman kemerdekaan, kolonial, dan zaman Islam mempunyai bukti sejarah yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Zaman Hindu/Budha juga telah ditemukan bukti sejarah walaupun tidak sejelas zaman setelahnya. Zaman sebelum Hindu/Budha masih dalam teka-teki besar, maka dalam menjawab ketidakjelasan ini dapat dilakukan dengan analisa keterkaitan antar kerajaan. Urutan tahun berdiri kerajaan di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Kerajaan di Indonesia berdasarkan tahun berdirinyaNo Nama Kerajaan Lokasi Situs PerkiraanTahun Berdiri
1. Kerajaan Kandis* Lubuk Jambi, Riau Sebelum Masehi
2. Kerajaan Melayu Jambi Jambi Abad ke-2 M
3. Kerajaan Salakanegara Pandeglang, Banten 150 M
4. Kepaksian Skala Brak Kuno Gunung Pesagi, Lampung Abad ke-3 M
5. Kerajaan Kutai Muara Kaman, Kaltim Abad ke-4 M
6. Kerajaan Tarumanegara Banten Abad ke-4 M
7. Kerajaan Koto Alang Lubuk Jambi, Riau Abad ke-4 M
8. Kerajaan Barus Barus, Sumatra Utara Abad ke-6 M
9. Kerajaan Kalingga Jepara, Jawa Tengah Abad ke-6 M
10. Kerajaan Kanjuruhan Malang, Jawa Timur Abad ke-6 M
11. Kerajaan Sunda Banten-Jawa Barat 669 M
12. Kerajaan Sriwijaya Palembang, Sumsel Abad ke-7 M
13. Kerajaan Sabak Muara Btg. Hari, Jambi 730 M
14. Kerajaan Sunda Galuh Banten-Jawa Barat 735 M
15. Kerajaan Tulang Bawang Lampung 771 M
16. Kerajaan Medang Jawa Tengah 820 M
17. Kerajaan Perlak Peureulak, Aceh Timur 840 M
18. Kerajaan Bedahulu Bali 882 M
19. Kerajaan Pajajaran Bogor, Jawa Barat 923 M
20. Kerajaan Kahuripan Jawa Timur 1009 M
21. Kerajaan Janggala Sidoarjo, Jawa Timur 1042 M
22. Kerajaan Kadiri/Panjalu Kediri, Jawa Timur 1042 M
23. Kerajaan Tidung Tarakan, Kalimantan Timur 1076 M
24. Kerajaan Singasari Jawa Timur 1222 M
25. Kesultanan Ternate Ternate, Maluku 1257 M
26. Kesultanan Samudra Pasai Aceh Utara 1267 M
27. Kerajaan Aru/Haru Pantai Timur, Sumatra Utara 1282 M
28. Kerajaan Majapahit Jawa Timur 1293 M
29. Kerajaan Indragiri Indragiri, Riau 1298 M
30. Kerajaan Panjalu Ciamis Gunung Sawal, Jawa Barat Abad ke-13 M
31. Kesultanan Kutai Kutai, Kalimantan Timur Abad ke-13 M
32. Kerajaan Dharmasraya Jambi 1341 M
33. Kerajaan Pagaruyung Batu Sangkar, Sumbar 1347 M
34. Kesultanan Aceh Banda Aceh 1360 M
35. Kesultanan Pajang Jawa Tengah 1365 M
36. Kesultanan Bone Bone, Sulawesi Selatan 1392 M
37. Kesultanan Buton Buton Abad ke-13 M
38. Kesultanan Malaka Malaka 1402 M
39. Kerajaan Tanjung Pura Kalimantan Barat 1425 M
40. Kesultanan Berau Berau 1432 M
41. Kerajaan Wajo Wajo, Sulawesi Selatan 1450 M
42. Kerajaan Tanah Hitu Ambon, Maluku 1470 M
43. Kesultanan Demak Demak, Jawa Tengah 1478 M
44. Kerajaan Inderapura Pesisir Selatan, Sumbar 1500-an M
45. Kesultanan Pasir/Sadurangas Pasir, Kalimantan Selatan 1516 M
46. Kerajaan Blambangan Banyuwangi, Jawa Timur 1520-an M
47. Kesultanan Tidore Tidore, Maluku Utara 1521 M
48. Kerajaan Sumedang Larang Jawa Barat 1521 M
49. Kesultanan Bacan Bacan, Maluku 1521 M
50. Kesultanan Banten Banten 1524 M
51. Kesultanan Banjar Kalimantan Selatan 1526 M
52. Kesultanan Cirebon Jawa Barat 1527 M
53. Kesultan Sambas Sambas, Kalimantan Barat 1590-an M
54. Kesultanan Asahan Asahan 1630 M
55. Kesultanan Bima Bima 1640 M
56. Kerajaan Adonara Adonara, Jawa Barat 1650 M
57. Kesultanan Gowa Goa, Makasar 1666 M
58. Kesultanan Deli Deli, Sumatra Utara 1669 M
59. Kesultanan Palembang Palembang 1675 M
60. Kerajaan Kota Waringin Kalimantan Tengah 1679 M
61. Kesultanan Serdang Serdang, Sumatra Utara 1723 M
62. Kesultanan Siak Sri Indrapura Siak, Riau 1723 M
63. Kasunanan Surakarta Solo, Jawa Tengah 1745 M
64. Kesltn. Ngayogyakarto Hadiningrat Yogyakarta 1755 M
65. Praja Mangkunegaran Jawa Tengah-Yogyakarta 1757 M
66. Kesultanan Pontianak Kalimantan Barat 1771 M
67. Kerajaan Pagatan Tanah Bumbu, Kalsel 1775 M
68. Kesultanan Pelalawan Pelalawan, Riau 1811 M
69. Kadipaten Pakualaman Yogyakarta 1813 M
70. Kesultanan Sambaliung Gunung Tabur 1810 M
71. Kesultanan Gunung Tabur Gunung Tabur 1820 M
72. Kesultanan Riau Lingga Lingga, Riau 1824 M
73. Kesultanan Trumon Sumatra Utara 1831 M
74. Kerajaan Amanatum NTT 1832 M
75. Kesultanan Langkat Sumatra Utara 1877 M
76. Republik Indonesia Kepulauan Nusantara 17-8-1945
Sumber: http://www.wikipedia.com (dengan olahan), *Tahun berdiri berdasarkan tombo adat


Dalam catatan sejarah terdapat informasi yang terputus antara zaman pra sejarah dengan zaman Hindu/Budha. Namun dari Tabel 1 diatas dapat diperoleh gambaran bahwa peradaban Nusantara kuno bermula di Sumatra bagian tengah dan ujung barat pulau Jawa. Dari abad ke-1 sampai abad ke-4 daerah yang dihuni meliputi Jambi (kerajaan Melayu Tua), Lampung (Kepaksian Skala Brak Kuno), dan Banten (kerajaan Salakanegara). Untuk mengetahui peradaban awal Nusantara kemungkinan besar dapat diketahui melalui analisa keterkaitan tiga kerajaan tersebut.
Kerajaan Melayu Tua di Jambi

Di daerah Jambi terdapat tiga kerajaan Melayu tua yaitu, Koying, Tupo, dan Kantoli. Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K'ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T'ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t'ung-k'ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P'u-lei atau Pulau. Penduduk yang mendiami pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, dengan kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah. Melihat warna kulitnya kemungkinan besar penduduk P'u-lei itu bukan termasuk rumpun Proto-Negrito atau Melayu Tua yang sebelumnya menghuni daratan Sumatera (Wikipedia, 2009).

Menurut data Cina Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah wilayah Sumatra Selatan dan Ranau wilayah Lampung telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin atau Tongkin dan Vietnam atau Fu-nan dalam abad itu juga. Malahan keramik hasil zaman dinasti Han (abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera tertentu.

Adanya kemungkinan penyebaran berbagai negeri di Sumatera Tengah hingga Palembang di Selatan dan Sungai Tungkal di utara digambarkan oleh Obdeyn (1942), namun dalam gambar itu kedudukan negeri Koying tidak ada. Jika benar Koying berada di sebelah timur Tupo atau Thu-po, Tchu-po, Chu-po dan kedudukannya di muara pertemuan dua sungai, maka ada dua tempat yang demikian yakni Muara Sabak Zabaq, Djaba, Djawa, Jawa dan Muara Tembesi atau Fo-ts'I, San-fo-tsi', Che-li-fo-che sebelum seroang sampai di Jambi Tchan-pie, Sanfin, Melayur, Moloyu, Malalyu. Dengan demikian seolah-olah perpindahan Kerajaan Malayu Kuno pra-Sriwijaya bergeser dari arah barat ke timur mengikuti pendangkalan Teluk Wen yang disebabkan oleh sedimen terbawa oleh sungai terutama Batang Tembesi. Hubungan dagang secara langsung terjadi dalam perdagangan dengan negeri-negeri di luar di sekitar Teluk Wen dan Selat Malaka maka besar kemungkinan negeri Koying berada di sekitar Alam Kerinci.

Keberadaan Koying yang pernah dikenal di manca negara sampai abad ke 5 M sudah tidak kedengaran lagi. Diperkirakan setelah Koying melepaskan kekuasaanya atas kerajaan Kuntala, kejayaan pemerintahan Koying secara perlahan-lahan menghilang. Koying yang selama ini tersohor sebagai salah satu negara nusantara pemasok komoditi perdagangan manca negara sudah tidak disebut-sebut lagi. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak dialami Koying saja, karena kerajaan lain pun yang pernah jaya semasa itu banyak pula yang mengalami nasib yang sama.

Namun yang jelas, di wilayah Alam Kerinci sebelum atau sekitar permulaan abad masehi telah terdapat sebuah pemerintahan berdaulat yang diakui keberadaanya oleh negeri Cina yang disebut dengan negeri Koying atau kerajaan Koying.
Kerajaan Kepaksian Sekala Brak

Sekala Brak adalah sebuah kerajaandi kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung) yang menjadi cikal-bakal suku bangsa/etnis Lampung saat ini. Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu Way Komring, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.

Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan Kamboja. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina.
Kerajaan Salakanegara

Kerajaan Salakanagara (Salaka=Perak) atau Rajatapura termasuk kerajaan Hindu. Ceritanya atau sumbernya tercantum pada Naskah Wangsakerta. Kerajaan ini dibangun tahun 130 Masehi yang terletak di pantai Teluk Lada (wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten). Raja pertamanya yaitu Dewawarman yang memiliki gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Rakja Gapura Sagara yang memerintah sampai tahun 168 M.

Dalam Babad suku Sunda, Kota Perak ini sebelumnya diperintah oleh tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya atau Aki Tirem, waktu itu kota ini namanya Pulasari. Aki Tirem menikahkan putrinya yang bernama Pohaci Larasati dengan Dewawarman. Dewawarman ini sebenarnya Pangeran yang asalnya dari negri Palawa di India Selatan. Daerah kekuasaan kerajaan ini meliputi semua pesisir selat Sunda yaitu pesisir Pandeglang, Banten ke arah timur sampai Agrabintapura (Gunung Padang, Cianjur), juga sampai selat Sunda hingga Krakatau atau Apuynusa (Nusa api) dan sampai pesisir selatan Swarnabumi (pulau Sumatra). Ada juga dugaan bahwa kota Argyre yang ditemukannya Claudius Ptolemalus tahun 150 M itu kota Perak atau Salaknagara ini. Dalam berita Cina dari dinasti Han, ada catatan dari raja Tiao-Pien (Tiao=Dewa, Pien=Warman) dari kerajaan Yehtiao atau Jawa, mengirim utusan/duta ke Cina tahun 132 M.
Mitologi Minangkabau

Orang Minangkabau mengakui bahwa mereka merupakan keturunan Raja Iskandar Zulqarnaen (Alexandre the Great) Raja Macedonia yang hidup 354-323 SM. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.

Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).

Kalau kita melihat kalimat-kalimat tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut: "…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan surang Maharajo Alif, nan pai ka banda Ruhum, nan surang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan surang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…" (pada masa dahulu kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhum (Eropa), yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera).

Dalam versi lain diceritakan, seorang penguasa di negeri Ruhum (Rum) mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Iskandar Zulkarnain menikah dengan putri tersebut. Dengan putri itu Iskandar mendapat tiga orang putra, yaitu Maharaja Alif, Maharaja Depang, dan Maharaja Diraja. Setelah ketiganya dewasa Iskandar berwasiat kepada ketiga putranya sambil menunjuk-nunjuk seakan-akan memberitahukan ke arah itulah mereka nanti harus berangkat melanjutkan kekuasaannya. Kepada Maharaja Alif ditunjuk kearah Ruhum, Maharaja Depang negeri Cina, Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Nusantara).

Setelah Raja Iskandar wafat, ketiga putranya berangkat menuju daerah yang ditunjukkan oleh ayahnya. Maharaja Diraja membawa mahkota yang bernama "mahkota senggahana", Maharaja Depang membawa senjata bernama "jurpa tujuh menggang", Maharaja Alif membawa senjata bernama "keris sempana ganjah iris" dan lela yang tiga pucuk. Sepucuk jatuh ke bumi dan sepucuk kembali ke asalnya jadi mustika dan geliga dan sebuah pedang yang bernama sabilullah.

Berlayarlah bahtera yang membawa ketiga orang putra itu ke arah timur, menuju pulau Langkapuri. Setibanya di dekat pulau Sailan ketiga saudara itu berpisah, Maharaja Depang terus ke Negeri Cina, Maharaja Alif kembali ke negeri Ruhum, dan Maharaja Diraja melanjutkan pelayaran ke tenggara menuju sebuah pulau yang bernama Jawa Alkibri atau disebut juga dengan Pulau Emas (Andalas atau Sumatra sekarang). Setelah lama berlayar kelihatanlah puncak gunung merapi sebesar telur itik, maka ditujukan bahtera kesana dan berlabuh didekat puncak gunung itu. Seiring menyusutnya air laut mereka berkembang di sana.

Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah "Masa dahulu kala" itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Mitologi Lubuk Jambi[2]

Pulau Perca adalah salah satu sebutan dari nama Pulau Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama sesuai dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya merupakan satu benua yang terhampar luas di bagian selatan belahan bumi. Karena perubahan pergerakan kulit bumi, maka ada benua-benua yang tenggelam ke dasar lautan dan timbul pulau-pulau yang berserakan. Pulau Perca ini timbul terputus-putus berjejer dari utara ke selatan yang dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera bagaikan guntingan kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau Sumatera telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali pergantian nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan terakhir Pulau Sumatra.

Pulau Perca terletak berdampingan dengan Semenanjung Malaka yang dibatasi oleh Selat Malaka dibagian Timur dan Samudra Hindia sebelah barat sebagai pembatas dengan Benua Afrika. Pulau Perca berdekatan dengan Semenanjung Malaka, maka daerah yang dihuni manusia pertama kalinya berada di Pantai Timur Pulau Perca karena lebih mudah dijangkau dari pada Pantai bagian barat. Pulau Perca yang timbul merupakan Bukit Barisan yang berjejer dari utara ke selatan, dan yang paling dekat dengan Semenanjung Malaka adalah Bukit Barisan yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi sekarang, tepatnya adalah Bukit Bakau yang bertalian dengan Bukit Betabuh dan Bukit Selasih (sekarang berada dalam wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau), sedangkan daratan yang rendah masih berada di bawah permukaan laut.

Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari keturunan waliyullah Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra). Ketika berlabuh di Pulau Emas, Maharaja Diraja dan rombongannya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah ini merupakan daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang jernih.

Maharaja Diraja sesampainya di Bukit Bakau membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna. Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk Rajo Tunggal (lebih akrab dipanggil). Datuk Rajo Tunggal memiliki senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo Dirajo. Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan Kandis. Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.

Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang, dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Rajo Tunggal memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.

Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung Melayu oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis dan Malaka sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu.

Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil dan bijaksana. Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain di antaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya berdirilah kerajaan Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.

Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut, sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir sekarang).

Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Merapi.

Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan Patih dan Temenggung lari ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) di mana keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi Dt. Ketemenggungan.

Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar kerajaan Kandis mati terbunuh diserang oleh Raja Sintong dari Cina belakang, dengan ekspedisinya dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat berlabuhnya kapal Raja Sintong, dinamakan dengan Sintonga. Setelah mengalahkan Kandis, Raja Sintong beserta prajuritnya melanjutkan perjalanan ke Jambi. Setelah kalah perang pemuka kerajaan Kandis berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh, maka mereka sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah. Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).
METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dikelompkkan menjadi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari mengumpulkan cerita/tombo/mitologi di daerah Lubuk Jambi dengan melakukan wawancara dengan pemangku adat setempat. Kemudian melakukan analisis topografi untuk mencari titik lokasi yang diduga kuat sebagai lokasi kerajaan. Tahap berikutnya adalah melakukan ekspedisi/pencarian lokasi. Penelitian lanjutan adalah penelitian arkeologis untuk membuktikan kebenaran cerita/tombo. Data yang didapatkan di lokasi dianalisis dan dicari keterkaitannya dengan bukti sejarah dan cerita di daerah sekitarnya (Jambi dan Minangkabau). Penelitian pendahuluan mulai dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai April 2009, sementara penelitian lanjutan belum dilaksanakan karena keterbatasan sumberdaya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi Kerajaan Kandis

Analisis topografi yang dilakukan pada peta satelit yang diambil dari google earth, ditemukan lokasi yang dicirikan di dalam tombo/cerita (bukit yang dikelilingi oleh sungai). Daerah tersebut berada pada titik 0042'58 LS dan 101020'14 BT (Gambar 1) atau berada hampir di titik tengah pulau Sumatra (perbatasan Sumatra Barat dan Riau). Lokasinya berada di tengah hutan adat Lubuk Jambi, oleh pemerintah dijadikan sebagai kawasan hutan lindung yang dinamakan dengan hutan lindung Bukit Betabuh. Jarak lokasi dari jalan lintas tengah Sumatra lebih kurang 10 km ke arah barat, dengan topografi perbukitan.








Gambar 1 Hipotesa Lokasi Istana Dhamna

Pencarian lokasi/ekspedisi dilakukan dengan peralatan navigasi darat sederhana, yaitu menggunakan peta, kompas, dan teropong binokuler. Pada lokasi yang dituju, ditemukan hal-hal yang mencirikan bukit tersebut sebagai peninggalan peradaban manusia. Lebih kurang 2 km sebelum Bukit Bakar ditemukan batu karst/karang laut yang berjejer, batu ini diduga sebagai pagar lingkar luar kerajaan (Gambar 2)


Gambar 2 Batu Karst yang diduga sebagai pagar lingkar luar kerajaan

Pada bukit yang dikelilingi oleh sungai yang sangat jernih, pada bagian puncaknya ditemukan batu karst yang memenuhi puncak bukit (Gambar 3). Batu karst itu pada lereng bagian timur dan utara tersingkap, sedangkan lereng selatan dan barat tertimbun. Lereng tenggara ditemukan seperti tiang batu yang diduga bekas menara istana (Gambar 4).



Gambar 3 Batu Karst yang memenuhi puncak bukit

Gambar 4 Tiang batu yang diduga bekas menara istana

Pada lereng timur bukit sebelah atas kira-kira 1200 m dari sungai ditemukan mulut goa yang diduga pintu istana, akan tetapi pintu ini pada bagian dalam sudah tertutup oleh reruntuhan batu. Pintu goa ini tingginya 5 meter dengan ruangan di dalamnya sejauh 3 meter, dan dalam goa tersebut terlihat seperti ada ruangan besar di dalamnya namun sudah tertutup (Gambar 5).

Gambar 5 Mulut goa yang diduga pintu masuk istana

Pada lereng bukit bagian selatan sampai ke barat ditemukan teras sebanyak tiga tingkat, diduga bekas cincin air (Gambar 6), sementara lereng utara sampai timur sangat curam dan terlihat seperti terjadi erosi yang parah. Teras ini lebarnya rata-rata 4 m, jarak antara sungai dengan teras pertama kira-kira 200 m, teras pertama dengan teras kedua kira-kira 400 m, teras kedua dengan teras ketiga kira-kira 500 m dan panjang lereng diperkirakan 1500 m. Berdasarkan analisa di peta bukit ini dari timur ke barat berdiameter 3000 m, dan dari utara ke selatan berdiameter 3000 m, beda elevasi antara sungai dengan puncak bukit 245 m. Pada lereng barat daya, kira-kira pada ketinggian lereng 800 m ditemukan mata air yang mengalir deras. Ukuran ini berdasarkan perkiraan di lapangan dan pengukuran di peta satelit. Untuk mendapatkan ukuran sebenarnya perlu pengukuran dilapangan.

Gambar 6 Teras yang diduga bekas cincin air

Gambar 7 Sketsa Lokasi situs kerajaan Kandis

Melihat ciri-ciri atau karakter lokasi, lokasi ini sangat mirip dengan sketsa kerajaan Atlantis yang ditulis dalam mitologi Yunani "Timeus dan Critias" karya Plato (360 SM). Mitologi ini menyebutkan "Poseidon mengukir gunung tempat kekasihnya tinggal menjadi istana dan menutupnya dengan tiga parit bundar yang lebarnya meningkat, bervariasi dari satu sampai tiga stadia dan terpisah oleh cincin tanah yang besarnya sebanding". Bangsa Atlantis lalu membangun jembatan ke arah utara dari pegunungan, membuat rute menuju sisa pulau. Mereka menggali kanal besar ke laut, dan di samping jembatan, dibuat gua menuju cincin batu sehingga kapal dapat lewat dan masuk ke kota di sekitar pegunungan; mereka membuat dermaga dari tembok batu parit. Setiap jalan masuk ke kota dijaga oleh gerbang dan menara, dan tembok mengelilingi setiap cincin kota. Tembok didirikan dari bebatuan merah, putih dan hitam yang berasal dari parit, dan dilapisi oleh kuningan, timah dan orichalcum (perunggu atau kuningan). Ada kemiripan mitologi ini dengan mitologi yang ada di Lubuk Jambi.

Gambar 8 Perspektif Istana Dhamna menggunakan Sketsa Kerajaan Atlantis

Ini hanya sebuah dugaan yang belum dibuktikan secara ilmiah, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Survei arkeologi yang dilakukan ke lokasi belum bisa menyimpulkan lokasi ini sebagai peninggalan kerajaan karena belum cukup barang bukti untuk menyimpulkan seperti itu. Namun sudah dapat dipastikan bahwa daerah tersebut pernah dihuni atau disinggahi manusia dulunya.
Analisa Mitologi Minangkabau vs Mitologi Lubuk Jambi

Terlepas dari benar tidaknya sebuah mitologi, kesamaan cerita dalam mitos tersebut akan mengantarkan pada suatu titik terang. Tambo Minangkabau begitu indah didengar ketika pesta nikah kawin dalam bentuk pepatah adat menunjukkan kegemilangan masa lalu. Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi, dua cerita yang bertolak belakang. Minangkabau mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah Sultan Maharaja Diraja putra Iskandar Zulkarnain yang berlabuh di puncak gunung merapi. Air laut semakin surut keturunan Maharaja Diraja berkembang di sana hingga menyebar kebeberapa daerah di Sumatra. Lain halnya dengan tambo Lubuk Jambi, tambo itu mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah Maharaja Diraja putra Iskandar Zulkarnain, berlabuh di Bukit Bakar dan membangun peradaban di sana. Dari Lubuk Jambi keturunan-keturunannya menyebar ke Minangkabau dan Jambi. Namun tambo tidak menyebutkan tahun. Itulah sebabnya daerah ini dinamakan Lubuk Jambi yang berarti asalnya (lubuk) orang-orang Jambi. Menurut ceritanya, Kandis sejak kalah perang dalam ekspedisi Sintong dan penyembunyian peradaban mereka ceritanya disampaikan secara rahasia dari generasi ke generasi oleh Penghulu Adat atau dikenal dalam istilahnya "Rahasio Penghulu". Namun kebenaran cerita rahasia ini perlu dibuktikan.

Dari kedua tambo tersebut di atas, dapat ditarik benang merah yaitu "sama-sama menyebutkan bahwa nenek moyang mereka adalah Iskandar Zulkarnain". Tapi dalam catatan sejarah yang diketahui Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great/ Alexander Agung) tidak mempunyai keturunan.
Plato-Atlantis-Iskandar Zulkarnain-Kandis

Plato, filosof kelahiran Yunani (Greek philosopher) yang hidup 427-347 Sebelum Masehi (SM). Plato adalah salah seorang murid Socrates, filosof arif bijaksana, yang kemudian mati diracun oleh penguasa Athena yang zalim pada tahun 399 SM. Plato sering bertualang, termasuk perjalanannya ke Mesir. Pada tahun 387 SM dia mendirikan Academy di Athena, sebuah sekolah ilmu pengetahuan dan filsafat, yang kemudian menjadi model buat universitas moderen. Murid yang terkenal dari Academy tersebut adalah Aristoteles yang ajarannya punya pengaruh yang hebat terhadap filsafat sampai saat ini.

Dengan adanya Academy, banyak karya Plato yang terselamatkan. Kebanyakan karya tulisnya berbentuk surat-surat dan dialog-dialog, yang paling terkenal mungkin adalah Republic. Karya tulisnya mencakup subjek yang terentang dari ilmu pengetahuan sampai kepada kebahagiaan, dari politik hingga ilmu alam. Dua dari dialognya "Timeus dan Critias" memuat satu-satunya referensi orisinil tentang pulau Atlantis.

Bagaimana hubungannya dengan Iskandar Zulkarnain, Iskandar adalah anak dari Raja Makedonia, Fillipus II. Ketika berumur 13 tahun, Raja Filipus mempekerjakan filsuf Yunani terkenal, Aristoteles, untuk menjadi guru pribadi bagi Iskandar. Dalam tiga tahun, Aristoteles mengajarkan berbagai hal serta mendorong Iskandar untuk mencintai ilmu pengetahuan, kedokteran, dan filosofi.

Iskandar Zulkarnain murid dari Aristoteles, dan Aristoteles murid dari Plato. Dari hubungan ini dapat diduga bahwa keturunan Iskandar Zulkarnain yang sampai ke Lubuk Jambi terinspirasi untuk membangun sebuah peradaban/Negara yang ideal seperti Atlantis. Maka mereka membangun sebuah istana dhamna "sebuah replika Atlantis". Namun semua ini masih perlu pengkajian yang lebih mendalam.
KESIMPULAN

Dari penelitian pendahuluan ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bukit yang terletak pada 0042'58 LS dan 101020'14 BT diduga sebagai situs peninggalan Kandis yang dimaksudkan didalam tombo/cerita adat.
Kerajaan Kandis diduga sebagai peradaban awal di nusantara.
Kerajaan Kandis merupakan replika dari kerajaan Atlantis yang hilang.

Kesimpulan ini masih bersifat dugaan atau hipotesa untuk melakukan penelitian selanjutnya. Oleh karena itu penelitian arkeologis akan menjawab kebenaran dugaan dan kebenaran tombo/mitos yang ada ditengah-tengah masyarakat.
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemangku Adat Kenogorian Lubuk Jambi Gajah Tunggal (Mahmud Sulaiman Dt. Tomo, Syamsinar Dt. Rajo Suaro, Danial Dt. Mangkuto Maharajo Dirajo, Sualis Dt. Paduko Tuan, dan Hardimansyah Dt. Gonto Sembilan), Drs. Sukarman, Mistazul Hanim, Nurdin Yakub Dt. Tambaro, Abdul Aziz Dt. Dano, Bastian Dt. Paduko Sinaro, Ramli Dt. Meloan, Marjalis Dt. Rajo Bandaro, dan Syaiful Dt. Paduko. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Meutia Hestina, Apriwan Bandaro, dan teman-teman yang membantu penulis dalam ekspedisi: Mudarman, bang Sosmedi, Yogie, Nepriadi, Zeswandi, bang Izul, Diris, Ikos, dan Yusran. Mas Sam dan Erli terima kasih atas informasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Datoek Toeah. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Pustaka Indonesia. Bukit Tinggi.

Graves, E. E. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Hall, D. G. E. tanpa tahun. Sejarah Asia Tenggara. Usaha Nasional. Surabaya.

Kristy, R (Ed). 2007. Alexander the Great. Gramedia. Jakarta.

Kristy, R (Ed). 2006. Plato Pemikir Etika dan Metafisika. Gramedia. Jakarta.

Marsden, W. 2008. Sejarah Sumatra. Komunitas Bambu. Depok.

Olthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Penerbit Narasi. Yogyakarta.

Samantho, A. Y. 2009. Misteri Negara Atlantis mulai tersingkap?. Majalah Madina Jakarta. Terbit Mei 2009.

Suwardi MS. 2008. Dari Melayu ke Indonesia. Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Wikipedia. Ensiklopedi Bebas. http://wikipedia.org.

[1]Koordinator Tim Penelusuran Peninggalan Kerajaan Kandis di Lubuk Jambi Negeri Gajah Tunggal, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau

[2] Dikumpulkan dari cerita yang diwarisi secara turun temurun oleh Penghulu Adat Lubuk Jambi

Tuesday, January 11, 2011

Novel Interlok mangsa politik



Novel Interlok mangsa politik
Oleh NIZAM YATIM
nizam.yatim@utusan.com.my
ADAKAH ahli politik kita sudah ketandusan isu. Itulah persoalan yang bermain di dalam fikiran apabila tercetusnya isu penggunaan novel Interlok sebagai salah satu teks untuk komponen sastera (Komsas) dalam mata pelajaran Bahasa Malaysia Tingkatan Lima bermula tahun ini.
Isu berkenaan mula tercetus apabila akhbar Makkal Osai pada 15 Disember lalu menerbitkan berita bertajuk Batalkan buku teks sejarah yang mempunyai kandungan kejian agama Hindu pada muka depannya.
Laporan memetik Timbalan Menteri di Jabatan Perdana Menteri, Datuk T. Murugiah sebagai berkata, penggunaan novel yang mengandungi teks yang mengeji kaum India dan nama kasta yang memalukan agama Hindu harus dibatalkan serta-merta.
Berita sama turut disiarkan oleh akhbar Tamil Nesan dan Malaysia Nanban sehingga menyebabkan para pemimpin MIC, Parti Progresif Penduduk dan Parti Makkal Sakti menyuarakan bantahan mereka.
Kemuncak perasaan tidak berpuas hati itu adalah pada Sabtu lalu apabila kira-kira 100 penduduk berketurunan India mengadakan demonstrasi sambil membakar novel itu dan salinan gambar penulisnya, Sasterawan Negara, Datuk Abdullah Hussain di hadapan Dewan Sentosa, Majlis Perbandaran Klang (MPK), Selangor.
Yang menjadi persoalan adalah, demonstrasi itu turut dihadiri ahli politik Pas dan DAP iaitu Ahli Parlimen Kota Raja, Dr. Siti Mariah Mahmud dan Ahli Dewan Undangan Negeri (ADUN) Kota Alam Shah, M. Manoharan.
Kehadiran mereka menimbulkan tanda tanya adakah ahli politik kita kini ketandusan isu dan terpaksa memanipulasi fakta yang terkandung dalam karya seorang Sasterawan Negara yang diterbitkan pada 1971 bagi meraih sokongan.
Jika karya ini dianggap bersifat perkauman dan menyentuh sensitiviti agama, kenapa tiada bantahan sepanjang 40 tahun novel yang memenangi hadiah sagu hati Sayembara Menulis Novel sempena 10 tahun merdeka berada dalam pasaran.
Interlok yang bermaksud 'jalinan ke arah keharmonian dalam masyarakat' yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) memaparkan tema mengenai integrasi tiga kaum iaitu Melayu, Cina dan India seawal tahun 1900-an hingga merdeka.
Mengulas isu berkenaan, Presiden Persatuan Penulis Nasional Malaysia (Pena), Mohamad Saleeh Rahamad menegaskan, Interlok tidak menghina mana-mana kaum kerana ia menggambarkan sejarah dan realiti sosial yang berlaku selain menonjolkan gagasan perpaduan bagi negara yang baru dibentuk dan berdaulat.
Beliau yang mahukan kemurnian novel itu dikekalkan tanpa sebarang perubahan berkata, jika kerajaan beralah kepada tuntutan itu, bermakna pemerintah mengakui dakwaan pihak berkenaan, yang sebenarnya tidak berasas sama sekali.
''Sebarang campur tangan politik berdasarkan kepentingan peribadi dan perkauman dalam bidang persuratan dan pendidikan secara keterlaluan akan menimbulkan kekeliruan dan pergeseran tidak berkesudahan," katanya yang juga pensyarah Pengajian Media di Universiti Malaya (UM).
Pandangan Mohamad Saleeh turut disokong oleh Felo Penyelidik Utama dan Profesor Sosiolinguistik Bahasa Melayu Institut Alam dan Tamadun Melayu (Atma), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Prof. Dr. Teo Kok Seong.
Kok Seong berkata, Interlok merupakan bahan bacaan cukup baik terutama bagi memahami asas-asas perpaduan di negara ini kerana ia memuatkan watak pelbagai kaum termasuk Melayu, India dan Cina.
''Saya diberitahu, ia merupakan peristiwa benar yang diceritakan oleh seorang pensyarah berketurunan India dari UM kepada Abdullah mengenai struktur masyarakat keturunan itu ketika mula-mula datang ke Tanah Melayu.
''Justeru, pendedahan yang dibuat menerusi novel ini bukan bertujuan memalukan kaum India, sebaliknya ia boleh diambil iktibar terutama dalam memahami kesengsaraan kaum ini ketika berhijrah ke sini dahulu," katanya.
Kok Seong turut kesal dengan tindakan membakar novel berkenaan kerana berpendapat ia boleh membawa kesan yang buruk kepada keharmonian dan perpaduan di kalangan rakyat pelbagai kaum di negara ini.
''Kita perlu sedar bahawa karya ini dihasilkan oleh seorang penulis yang bukan calang-calang orang. Penulisnya bertaraf Sasterawan Negara. Sudah semestinya, novel itu dihasilkan dengan rasa penuh bertanggungjawab," ujar beliau.
Sementara itu, Munsyi DBP, Abdul Ghalib Yunus yang akan membentangkan kertas kerja mewakili para guru pada Wacana Interlok anjuran Koperasi Buku Malaysia Berhad pada 26 Januari ini berkata, petikan yang menjadi pertikaian adalah pada halaman 211 iaitu:
''Satu perkara besar yang membuatkan mereka senang bergaul adalah kerana mereka tergolong dalam satu kasta paria. Mereka tidak perlu akan mengotori sesiapa kalau bersentuhan, mereka juga bebas bergaul. Tempat di dalam kapal itu tidak teratur. Mereka berasak-asak seperti kambing."
Abdul Ghalib berkata, berdasarkan kefahamannya terhadap petikan itu, penulis tidak pernah menuduh bahawa semua kaum India di negara ini daripada keturunan yang berkasta rendah.
''Perkara yang dinyatakan dalam novel ini, berkaitan golongan berkasta paria hanya melibatkan sekumpulan kecil orang India yang berada di dalam kapal tersebut.
''Semua perlu ingat bahawa kedatangan orang India ke negara kita terdiri daripada pelbagai golongan sama ada buruh, kelas sederhana atau profesional," katanya.
Sementara itu, penulis, Rejab Ismail atau lebih dikenali dengan nama Rejab F.I. berkata, Abdullah merupakan seorang yang berpengalaman luas dalam bidang Sejarah dan apa yang ditulis beliau adalah sesuatu yang bertepatan dengan situasi dan latar sejarah ketika itu.
''Abdullah bukan menulis sesuatu yang berlaku sekarang, tetapi bercerita tentang sejarah. Maka khalayak pembaca dari segenap bangsa harus menerima ia sebagai satu hakikat sebenar," kata beliau.
Sebenarnya, terlalu banyak hujah ilmiah bagi menyokong Interlok. Justeru, kerajaan tidak boleh berlembut dengan oportunis politik yang sengaja melihat setiap perkara dari sudut pandangan penuh prasangka perkauman dan keagamaan.
Jika perbuatan ini dibiarkan, entah apa lagi isu yang akan dibangkitkan walaupun ia sebenarnya bukan isu. Janganlah kita biarkan Sasterawan Negara ini terus menangis.