ANAK-ANAK AHMAD JAAFAR AR-RAWI

ANAK-ANAK AHMAD JAAFAR AR-RAWI

Thursday, January 8, 2009

EMEL DARI WARIS RAO, GOPENG, PERAK

Menyingkap asal Rao tanah bertuah
Thursday, 8 January, 2009 9:47 PM

Tahniah atas niat dan usaha murni anda dan usaha ini harus di sokong ,
saya keturunan Rao dari Gopeng Perak , juga berminat dan telah mula menyambung usaha
ayahanda saya menyingkap asal keturunan sehingga di : Kecamatan Rao , Kabupaten Pasaman , Propinsi Sumatera Barat , Indonesia .

Namun ada sedikit halangan bila kebanyakan waris terdahulu telah menukar nama asal mereka bila tiba ke tanah melayu dan yang berkenaan kebanyakannya telah meninggal dunia . Cara yang tinggal adalah melalui persatuan yang baru dibentuk iaitu JARO dan menziarahi sendiri kampung-kampung asal di Rao .

salam perkenalan

"razak mohd nasir"

Sunday, January 4, 2009

EMEL DARI WARIS RAO, MEDAN, SUMUT, INDONESIA

EMEL DARI WARIS RAO, MEDAN, SUMUT, INDONESIA

Emel Dari A. Rahim Qahhar

En. Subari Ahmad,

Pertama kali saya memperkenalkan diri, nama saya A.Rahim Qahhar bermastautin di Medan Sumatera Utara Indonesia . Tertarik untuk menghantar emel kerana saya dapati tulisan saya “Pengabdi Republik Tak Mungkin Munafik” dalam blog En. Arisel itu saya muat dalam akhbar Medan Bisnis tempat saya bekerja, dan saya hantar ke milis Dato’ Kemala. Daripada mana En dapat artikel tersebut?

Bila En. Subari di Pahang, sila tanya Marsli NO dia amat kenal saya, juga Dato Kemala sahabat saya, nyaris papan atas sasterawan kat sini adalah kenalan saya. Kerana saya juga selalu ikut dalam kegiatan Gapena atau Pena.

Dan yang saya amat tertarik iaitu mengenai Teromba Rawi atau Rao. Kemudian saya baca sejarah oran g Rao di Tanah Semenanjung , wa h..saya terkagum-kagum kerana tak pernah tahu sejarah seperti itu. Kerana saya juga keturunan Rao, namun sekali pun tak pernah pulang atau menengok ke Bonjol, Rao. Sejak lahir hingga usia di atas usia Rasulullah sekarang ni, tetap bermastautin di Medan .

Pilihan raya Mac lepas saya berada di Gopeng kerana ada pesta kahwin anak saudara mara, iaitu anak daripada adik saya Badrul yang buka usa ha Kolam Pa ncing udang di Gopeng. Atok kami adik beradik, dua di Gopeng lainnya di Indonesia . Ramai saudara mara di Gopeng, satu kampong hampir semua berfamili. Yang tertua saat ini boleh En Subari kontek dia, iaitu abang saya H Mohd Nasir bin Abdul Wa hab di Gopeng Perak. Nombor talipon rumah 05- 359.6197 atau talp bimbit 012.5204.156 dan 012.5035.610.
En Subari boleh kontek dia dan mungkin nak ikut bergabung dalam Teromba Rao yang ada kat sini. Sekian sahaja.

Wassalam,

A.Rahim Qahhar

Jawaban emel dari Arisel BA

Sdra A.Rahim Qahhar
Medan, SUMUT

Saya memang Orang Rao, asal dari Kulawarga Pagar Ruyung/Padang Nunang/Rao-Mapattunggul. Kami melalui JARO sedang berusaha menerbitkan Teromba Keturunan Rao ke arah menjejak Jatidiri. Nanti saya ke Medan, akan cari sdra. Saya ada saudara di Gunung Mesah Hilir, Gopeng Perak - Datuk Aziz Shamsuddin tu berkait dengan saya sebagai anak saudara.

Tapi saya aslinya di Kg. Gali. Raub, Pahang, lubuk Orang Rao di Pahang.

Maklumat yang sdra berikan itu amat berguna untuk Projek Penerbitan Teromba Rao ini. Di Tanah Melayu, Orang dari Rao itu dikenali sebagai Orang Rawa, Orang Rawo atau ar-Rawi.

Saya mungkin ke Sumatera Barat pada April 2009, mungkin melalui Medan, lebih dekat, jika ikut Dumai, sedikit jauh.

Saya memang kenal sdra. Saya sejak 1983 - 1993 pernah aktif dalam Dewan Persuratan Melayu Pahang dan Gapena. Saya pernah jadi Skretaris DPMP selama 10 tahun. Nama pena saya ialah Arisel BA.

Jika sdra orang Rao, kita ada tali waris yang kental - ikut jalur saya ialah Ismail@ Subari bin Ahmad bin Jaafar bin Ibrahim bgin Tunku Ideris (kerabat dari Pagarruyung Saya adalah keturujan yang kelima.

Orang Rao di Sumbar hanya ada 60,000 plus, sedangkan di Tanah Melayu sudah membiak hingga 150,000 orang, itu sebab usaha menerbitkan Salasilah Kulawarga Rao di Tanah Melayu ini jadi semakin penting.

Kita berhubung lagi, jika sdra mahu kenal dengan peribadi saya, boleh tanya Pak Kemala atau Marsli NO. Rahsia saya ada dalam saku mereka daaa...

Artikel itu saya petik dari Forum Pak Kemala. Maaflah jika bersalahan, tetapi Adam Malek itu orang Rao, mesti dimartabatkan.

Sekian, terima kasih.

Ismail @ Subari Ahmad ar-Rawi

Transformasi

Transformasi



Ketika Kristus lahir
dunia jadi putih
juga langit yang semula gelap oleh darah dan jinah
jadi lembut seperti tangan bayi sepuluh hari

Subagio Sastrowardoyo mengerti transformasi yang ajaib dalam kisah Natal. Ia bukan seorang Kristen, tapi sajak itu datang dari sebuah Indonesia sekian puluh tahun yang lalu, yang dengan serta-merta mengerti apa yang universal dalam cerita yang luar biasa tapi juga bersahaja itu: Yesus lahir, tapi hanya satu bintang di langit yang tampak terang di atas Bethlehem. Tak ada suara dahsyat atau guncangan bumi yang mengubah geografi. ”Malam sunyi…,” kata lagu yang berulang kita dengar itu. Begitu biasa, tapi kelahiran itu diterima sebagai isyarat: Tuhan tak meninggalkan manusia sendirian.
Maka, manusia berdiri dingin sebagai patung-patung mesir
dengan mata termangu ke satu arah

Dalam imaji yang muncul dari larik sajak ini, manusia tak bergerak, bahkan tanpa perasaan lagi. Tapi suatu ketika terasa ada daya lain yang mengambil peran. Dari sesosok kekuatan yang dalam Perjanjian Lama digambarkan bisa ganas, cemburu, dan destruktif, hadir sebuah pesona yang diasosiasikan dengan ”tangan bayi sepuluh hari”. Dan manusia termangu.

Pertanyaan besar sejarah—yang sebenarnya tiap akhir tahun diungkapkan dengan cara yang banal—adalah bagaimana keajaiban seperti itu mungkin. Dengan kata lain, bagaimana harapan bisa hidup. Bisakah dunia dan kehidupan diperbaiki, ketika riwayat manusia telah demikian panjang, juga deretan kekecewaannya.

Nabi-nabi datang, petuah dan perintah dimaklumkan, dan kemudian dicoba revolusi dan diperkenalkan penemuan teknologi—tapi tiap kali kita mengalami perbaikan dalam hidup, tiap kali ada mala yang terjadi. Mungkin sebab itu di sebuah buku yang terbit pada 1990 Agamben menulis: ”Kita dapat mempunyai harapan hanya dalam apa yang tak punya penyembuhan” (rimedio).

Tentu saja ada paradoks dalam ucapan itu. Berharap kepada sesuatu yang tak bisa disembuhkan atau tak dapat diperbaiki sama saja dengan tak berharap. Namun barangkali di situ bekerja iman, sebuah dasar sikap yang dalam agama Kristen dan Islam dicontohkan dalam diri Ibrahim. Kita ingat ia dititahkan Tuhan menyembelih anak kesayangannya sendiri. Kita bayangkan ia berjalan sedih, tak paham, lunglai, ke Gunung Moria dan cuma percaya kepada sesuatu yang tak bisa diperhitungkannya.

Ada semacam sikap tawakal (yang tak selalu terkait dengan agama) ketika manusia berjalan terus, walaupun sejarah penuh dengan kebengisan, kegagalan, dan kesengsaraan. Tak henti-hentinya kita mengarungi l’irreparabile, yang tak dapat diperbaiki.

Dalam keadaan itu manusia memang kelihatan heroik. Namun ada yang kosong: baginya, tak akan ada transformasi di dunia. Manusia dengan gagah menanggungkan langit yang ”gelap oleh darah dan jinah”, tanpa tahu bahwa sesuatu bisa mengubah itu jadi ”lembut seperti tangan bayi yang sepuluh hari”.

Kita bisa mempersoalkan tepat-tidaknya metafora dalam sajak Subagio itu (bagaimana langit jadi seperti ”tangan bayi”?). Tapi kita tak akan luput menangkap radikalnya perubahan yang terjadi ketika kita tahu bahwa Tuhan, atau apa pun namanya bagi yang mengutamakan cinta kasih, bisa begitu dekat. Tak mengherankan bila Paulus dikutip mengatakan bahwa di antara tiga hal yang tinggal—iman, pengharapan, kasih—maka kasih itulah yang terbesar. Iman dan pengharapan bisa menggusur gunung. Kasih tak merasa perlu untuk itu. Ia merayakan adanya gunung, membuka diri kepada liyan, yang lain, yang bukan dirinya.

Sajak Subagio menyebut ”mata” (manusia) yang ”termangu ke satu arah”. Kata ”termangu”—dan bukan ”terpaku”—menyarankan sikap visual yang lebih pasif. ”Satu arah” itu bukan sesuatu yang disasar, melainkan sesuatu yang seakan-akan justru menarik kita ke arahnya, meskipun tak jelas benar.

”Kita mengharapkan apa yang tak kita lihat,” kata Paulus, ”kita menantikannya dengan tekun.” Artinya, yang penting bukanlah yang tampak, tempat kita meletakkan fokus. Yang penting bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan, yang bisa dikuasai. Bahwa kita bisa tekun menantikannya itu karena kita terpesona ketika sesuatu yang seakan-akan mukjizat hadir: ada cinta kasih, ternyata.

Sebab itu harapan tak sepenuhnya penting untuk membuat hidup berharga. Kesadaran akan ini kurang meluas di sebuah babakan kehidupan yang oleh Agamben disebut sebagai ”waktu yang tinggal”. Ini bukan lagi waktu para ”nabi”, kata Agamben.

Dalam tradisi Yahudi, ”nabi” didefinisikan ”oleh hubungannya dengan masa depan”. Bagi Agamben, ”waktu yang tertinggal” adalah waktu yang sekarang. Dan itu adalah waktu para ”utusan”, apostel, yang dalam peristilahan Kristen disebut ”rasul”. Sabda, kata Agamben, ”diberikan kepada sang rasul, utusan sang juru selamat, yang waktunya bukanlah masa depan, melainkan sekarang.”

Di ”waktu yang tersisa” sekarang ini, harapan, iman, dan cinta kasih tak selalu cocok—bahkan terkadang yang dua pertama disebut diunggulkan di atas yang lain. Sajak Subagio mengingatkan, Natal tak datang tanpa kejutan.

Terutama ketika iman bisa begitu keras dan harapan jadi optimisme yang buta dan menghalalkan segalanya. ”Dunia jadi putih” bukan tanda musim dingin yang hanya terjadi di sebagian muka bumi. ”Dunia jadi putih” adalah bagian dari transformasi ketika kita menyadari bahwa kita tak selamanya hidup di bawah kekerasan dan pelanggaran, ”darah dan jinah”. Di waktu yang tersisa ini, kelembutan terkadang menyelip—dan unggul.
Hanya dalam ritual agama, yang aturannya ditaati tiap kali, dan hanya dalam kalender iklan, Natal dapat direncanakan.


Goenawan Mohamad


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/29/CTP/mbm.20081229.CTP129095.id.html