ANAK-ANAK AHMAD JAAFAR AR-RAWI

ANAK-ANAK AHMAD JAAFAR AR-RAWI

Monday, January 26, 2009

BERHENTILAH MENJADI GELAS, JADILAH DANAU

BERHENTILAH MENJADI GELAS, JADILAH DANAU

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.

"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu." Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.

"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"

"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Tuhan, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah."

Si murid terdiam, mendengarkan.

"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."
(dj.hand.IndoMp3z)

KATANYA INDONESIA

Katanya Indonesia
Afriadi Sanusi

Katanya terdiri dari puluhan ribu pulau…
Katanya lebih 200 adat budaya dan bahasa daerah…
Katanya terdiri lebih dari 200 suku bangsa…
Katanya lebih 250 juta penduduk…
Katanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…

Saya lihat satu pulau yang miskin, tetapi menikmati banyak kekayaan…
Saya lihat bahasa dan adat budaya satu daerah mendominasi di Indonesia…
Saya lihat Presiden hanya hak monopoli satu suku bangsa saja…
Saya lihat para pemimpin dan kepala bagian hanya untuk orang suku tertentu saja…
Saya lihat pembangunan infrastruktur hanya untuk satu pulau itu saja…

Pendidikan yang berkualitas hanya ada di pulau itu…
Para pemimpin harus berasal atau hidup lama di pulau itu…
Jalan, listrik, air bersih, telepon, sekolah diutamakan di pulau itu…
Rumah sakit yang canggih hanya ada di pulau itu…

Segala transaksi harus melalui restu orang dari pulau itu…
Minyak dan gasnya dari Aceh dan Riau… duitnya untuk satu pulau saja…
Emas dan tembaga dari Irian Jaya… duitnya untuk satu pulau saja…
Kayu balak dari Kalimantan dan Sulawesi… duitnya untuk satu pulau saja…
Kami memiliki kelapa sawit, karet tetapi duitnya bukan untuk kami
Kata mereka “biarlah kalian memiliki barang, asal duitnya untuk kami”

Oh tidak! Ini tidak adil!!! Ini melanggar persamaan hak antara sesama anak bangsa!!!
Kami bukan rakyat kelas kedua…
Kami bukan para hamba sahaya…
Kami bukan orang-orang bodoh…
Kami juga berhak jadi presiden
Kami juga mampu jadi kepala bagian
Kami juga perlu pembangunan
Adat dan budaya kami juga memiliki nilai di mata dunia…

Padahal, Nenek moyang kami… ribuan tahun yang lalu…
Telah kuat kerajaan Mataram
Telah makmur dibawah kerajaan Iskandar muda
Telah sejahtera dibawah kerajaan Riau lingga
Telah agung dibawah kerajaan Sisingamangaraja
Telah mewah dibawah kerajaan Sriwijaya
Telah terkenal dibawah kerajaan Pagaruyung
Telah sejahtera dibawah pemerintahan Kalimantan
Telah bahagia dibawah pemerintahan Sulawesi

Kami sangat takut… kami tidak mau berperang lagi…
Karena kami tidak memiliki senjata…
Masih terbayang bagi kami…
Peritistiwa DOM yang mengorbankan orang-orang tua kami
Peristiwa PRRI yang membunuh para pemimpin kami
Peristiwa APRA, Andi aziz, maluku selatan yang mengorbankan orang yang kami cintai

Berikanlah hak-hak kami! Hak persamaan dan keadilan…
Kembalikan kekayaan alam kami yang di kuras setiap hari dalam bentuk infrastruktur!
Kami tidak sedang memohon… tetapi hanya meminta hak-hak kami…
Karena kami dan nenek moyang kami telah lama hidup dan mati di kepulauan ini…

University Malaya, Kuala Lumpur, 5 Agustus 2008