Minangkabau: Pendulum Sudah Berubah
Oleh Wannofri Samry
PadangKini.com; Sabtu, 27/12/2008, 21:09 WIB
BEBERAPA kali bertemu dengan keturunan Minangkabau di Malaysia, sungguh merisaukan, karena sedikitpun mereka tidak ingin tahu tentang negeri leluhur mereka. Memang berbeda dengan kesimpulan disertasi Mochtar Naim bahwa orang Minangkabau itu merantau akan mengikuti pepata setinggi-tinggi tabang bangau akan kembali ke kubangan.
Justru orang Minangkabau Malaysia banyak yang tidak mau tahu dan tidak ingin tahu mengenai tanah leluhur mereka. Padahal jika diamati saat ini hubungan Indonesia Malaysia sudah dekat, karena ada penerbangan langsung dari Padang-Kualalumpur. Faktor transportasi itu juga tidak mendorong orang Minangkabau di Malaysia untuk ramai-ramai pulang kampung.
Perkara lain juga tidak adanya kebanggaan keturunan Minangkabau di Malaysia tentang negeri mereka. Orang Minangkabau boleh membanggakan bahwa mereka mempunyai sejarah yang elok; pernah menjadi pusat pendidikan, pusat pergerakan, melahirkan tokoh-tokoh besar, alam yang indah, paling demokratis, sebutlah semuanya, namun tidak ada membanggakan Minangkabau Malaysia.
Orang rantau di Malaysia (mungkin setiap orang merantau) berpikir lebih rasional. Cerita-cerita sejarah dan retorika-retorika sosial tidak berpengaruh terhadap masa kini, itu tidak ada gunanya bagi mereka.
Masalah sebenarnya bukanlah menyalahkan orang Minangkabau-rantau itu tidak tertarik kepada negeri leluhurnya, tetapi kenapa "kita" dan "orang lain" tidak tertarik terhadap Minangkabau saat ini? Berdasarkan pengamatan ada beberapa perkara.
Kalau diperhatikan negeri Minangkabau (kini diwakili Sumatera Barat) berjalan di tempat. Pembangunan Minangkabau berjalan seperti semut. Tidak ada sektor-sektor pembangunan dan pengelolaan pemerintah yang membanggakan.
Sektor transportasi umpamanya, pertumbuhan jalannya lambat, jalan utama antar provinsi dari tahun ke tahun tidak jauh perubahan, makin padat dan sesak. Kota-kota makin sumpek dan amburadul karena tidak ada sistem yang jelas.
Sektor pariwisata kita tidak ubahnya bergantung pada alam. Objek-objek wisata tidak menarik dan kotor. Keunggulan pariwisata kita tidak jelas, apakah pada sejarah budaya atau pada alam? Kedua-duanya tidak diolah dengan baik. Kalau pada sektor alam, alam Minangkabau pun tidak ditata dengan rapi.
Kerjasama antar sektor lain untuk menunjang pariwisata pun tidak tampak, semuanya jalan sendiri-sendiri. Pengelolaan sektor sejarah pun tidak kelihatan, sebab perhatian terhadap masalah kesejarahan masih belum diprioritaskan.
Pendidikan, dalam literatur sejarah, Minangkabau hebat, tetapi realitasnya tidak bergerak? Apakah pendidikan di Minangkabau paling baik di tingkat nasional dan regional?
Adakah kreativitas guru yang sangat membanggakan? Tidak. Bahkan banyak guru-guru hanya mengejar sertifikasi, sebagian mereka kuliah penyetaraan, kadang memang hanya mengejar sertifikat bukan ilmu. Kabarnya, kadangkala guru "kita" suka juga menyontek. Guru pun malas membaca dan suka mengajarkan metode menghapal.
Pendidikan tinggi, tidak jauh berbeda, semuanya berjalan dengan retorika-retorika kemajuan dan teknologi. Semuanya berjalan dengan standar daerah, bukan nasional apalagi internasional. Perguruan tinggi tujuannya menghasilkan banyak sarjana.
Padahal tidak satupun perguruan tinggi yang mempunyai wadah pustaka yang memadai di Sumatera Barat. Bahkan perguruan tinggi swasta berjalan dengan model pustaka minimalis, kadang seperti Pustaka Desa. Bayangkan bagaimana mungkin mahasiswa bisa cepat maju jika perpustakaan hanya boleh meminjam buku 3 buku seminggu. Bagaimana mungkin jika perpustakaan dibiarkan berdebu dan diolah oleh seorang yang tidak sarjana?
Tidak salah jika kita makin kekurangan pemikir dan peneliti (atau mungkin tidak diperlukan). Tetapi saat ini orang Minangkabau juga kalah di tingkat politik. Politisi Minangkabau adalah politisi kelas dua yang tidak menentukan di tingkat pusat. Lihatlah politisi Minangkabau saat ini, adakah di antara mereka yang mambasuik dari perut Minangkabau?
Di bidang media massa, kini Sumatera Barat berada di pinggiran. Sumatera Barat bukan pusat penerbitan lagi dan tidak menentukan. Pendulum itu bergeser ke negeri lain, seperti Pekanbaru. Media massa orang Minangkabau sudah mulai ditinggalkan, Harian Haluan, yang sampai tahun 1990-an menguasai Sumatera Bagian Tengah hampir tidak terdengar di luar daerah dan Harian Singgalang yang juga sering menjadi rujukan bagi beberapa provinsi di sekitarnya kini sayup-sayup sampai.
Kedua media ini di daerahnya pun kurang digemari lagi. Bahkan pernah kawan bercanda, "Bagaimana jika membatasi baca koran daerah, supaya kita lebih pintar?" Artinya kehadirannya tidak signifikan.
Kini pendulum benar-benar sudah berubah. Minangkabau tidak menjadi center of activity dan modernization. Jika tidak ada perubahan di bidang infrastrurktur transportasi, pendidikan, pariwisata, media massa, dan serta orientasi pembangunan pedesaan, besar kemungkinan Sumatera Barat akan ditinggalkan oleh provinsi-provinsi sekitarnya.
Dan Minangkabau akan hanyut dalam sejarahnya sendiri. Bagaimana menciptakan arus balik? Ini tentu Pekerjaan Rumah (PR) para pemimpin daerah. Minangkabau memerlukan percepatan dan kerja keras pemimpinnya untuk berada paling depan, agar tidak dilupakan.**
(Bangi, 27 Desember 2008)
Wannofri Samry, kandidat doktor Jurusan Sejarah, Politik dan Strategik, Universiti Kebangsaan Malaysia.
No comments:
Post a Comment
KOMEN ANDA