SASTRAWAN MINANGKABAU DULU MEMBUNGKUS IDEOLOGI DENGAN RANCAK: Perbincangan atas Dua Roman Balai Pustaka
Ditulis oleh Eva Krisna
Petikan daripada Horison OnlinePendahuluan
1.1 Tulisan dan Ideologi
Menulis sesuatu, apapun jenis tulisan itu, tentulah memiliki suatu maksud tertentu. Sangat janggal kedengarannya bila ada orang yang menyatakan bahwa ia menulis karena dorongan keinginan semata. Lazimnya, setiap orang menulis memiliki maksud yakni menyampaikan perasaan atau pikirannya melalui tulisannya. Masalah tulisan itu akan dibaca orang dan perasaan atau pikirannya tersebut akan ditanggapi oleh orang lain adalah persoalan selanjutnya bagi penulis. Persoalan pertama adalah menuliskannya dengan baik dan dengan segenap kemampuan.
Persoalan perasaan, pikiran, atau gagasan yang disampaikan pada orang lain, dalam kehidupan sehari-hari, lebih dikenali dengan istilah ide. Seringkali kita mendengar kalimat, “Saya punya ide” atau “Anda memiliki ide? sampaikanlah.” Secara khusus, ide memiliki keterkaitan erat dengan pikiran atau gagasan manusia. Bila pikiran atau gagasan tersebut teruji kebenaran, fungsi, dan manfaatnya bagi manusia, maka ia akan berterima menjadi pandangan hidup bagi manusia secara pribadi atau manusia secara luas (masyarakat) tempat gagasan tersebut dilahirkan. Selanjutnya, pikiran atau gagasan yang berterima tersebut dapat dikembangkan menjadi kumpulan konsep bersistem yang pada akhirnya dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup seseorang atau golongan. Destuut de Tracy (dalam Moeliono-Budianto, 2004:128-130) merumuskan hal demikian sebagai ideologi, istilah yang kita pakai sampai hari ini. Dengan kalimat lain dapat pula dikatakan bahwa ideologi adalah cita-cita (hasil pikiran berupa gagasan) yang ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam masyarakat. Para pencetus atau pendukung (penggagas) ideologi biasanya menyebarkan ideologi tersebut kepada masyarakat secara luas. Cara penyebarannya dapat saja secara terbuka atau malah secara sembunyi-sembunyi, tergantung kepada situasi dan kondisi setempat.
Kembali kepada maksud yang melatarbelakangi penciptaan suatu tulisan, sangat terbuka kemungkinan bahwa tulisan memuat ideologi yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya. Sang penulis memiliki perasaan, pikiran, atau gagasan yang ia harapkan dapat diterima oleh pembacanya. Demikian pula halnya karya sastra sebagai karya kreatif, sangat mungkin bahwa ia merupakan sarana bagi pengarang untuk menyampaikan ideologi yang bertujuan agar masyarakat pembacanya menjadikan ideologi tersebut sebagai arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup bersama. Hal itu dapat dilihat misalnya melalui karya sastra yang dilahirkan pada masing-masing periode atau zaman. Karya sastra yang tercipta pada zaman penjajahan akan memuat ideologi yang bersesuaian dengan zaman itu, seperti cita-cita untuk merdeka, antipenjajah, atau malah menjadi pendukung kolonialisme tersebut.
Tulisan ini khusus membahas ideologi yang disampaikan pengarang zaman penjajah Belanda melalui karya mereka, yakni sekelompok sastrawan yang dikenal dalam sejarah sastra Indonesia sebagai “Sastrawan Angkatan Balai Pustaka.” Kekhasan sastrawan Balai Pustaka di samping sastrawan angkatan lain adalah karena mereka harus bekerja keras antara dorongan menyampaikan ideologi dan kepentingan (kebutuhan) untuk mempublikasikan tulisan melalui penerbit yang dianggap legal di zaman itu. Di satu sisi, ideologi yang disampaikan bermuatan antikolonial; di sisi lain, penerbit legal dan dapat dibaca banyak orang ketika itu (Balai Pustaka) adalah milik pemerintah kolonial yang ingin ditentang tersebut. Disanalah kepiawaian (sekaligus perjuangan) para sastrawan tersebut sangat dituntut, yakni membungkus ideologi dengan serancak-rancaknya. Hal itu sekaligus memperlihatkan fungsi sastra sebagai pembawa semangat zaman.
1.2 Sekilas tentang Balai Pustaka pada Masa Awal
Tentang sejarah berdirinya penerbit Balai Pustaka sudah sering dibahas dalam berbagai telaah, misalnya pada periodisasi kesusastraan Indonesia. Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) didirikan pada tanggal 22 September 1917. Lembaga ini bertugas menggantikan Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan tahun 1908. Kedua lembaga ini sesungguhnya didirikan sebagai politik balas jasa, politik etis, atau ethischepolitiek yang harus diberlakukan Belanda untuk Indonesia atas desakan negara-negara lain.
Pendirian Balai Pustaka tentu saja bukan dilatari oleh sekadar pelaksanaan politis etis, namun yang lebih utama adalah untuk mengontrol penerbitan karya sastra yang ditulis oleh kaum pribumi. Sebagai penerbit, Balai Pustaka mensyaratkan beberapa hal untuk karya-karya yang akan diterbitkannya, di antaranya tidak berisi hasutan untuk menentang Belanda dan menonjolkan kehebatan Belanda sebagai bangsa penjajah. Hal itu berkaitan dengan politik kolonial, yakni melegetimasi kekuasaan di tanah jajahannya. Akibatnya, roman-roman terbitan Balai Pustaka cenderung mengisahkan stereotipe pribumi yang inferior dan Belanda (Eropa) yang superior. Tokoh-tokoh pribumi selalu digambarkan dengan watak jahat, bodoh, percaya takhayul, dan bernasib malang. Stereotipe tersebut tampaknya berkaitan dengan realitas kehidupan sosial eknonomi pribumi pada masa itu, yaitu sangat terkebelakang dan tingkat buta huruf yang sangat tinggi. Mereka menempati urutan terbawah dalam stratifikasi sosial dan kultural di Hindia Belanda (Krisna, 2004:28). Sementara itu, tokoh Belanda berwatak baik, pintas, berpikir logis, dan pembawa kemuliaan.
Penerbitan karya sastra di luar Balai Pustaka oleh pihak swasta tentu saja di luar jangkauan kontrol Belanda. Untuk mengatasi hal itu, Belanda mempropagandakan bahwa karya sastra-karya sastra itu sebagai bacaan liar, picisan, cabul, pemakaian bahasa yang tidak teratur, dan agitator. Penerbitnya disebut sebagai saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan tidak bertanggung jawab.
Disinilah letak kepiawaian sastrawan pribumi, khususnya dua sastrawan asal Minangkabau yang justru memanfaatkan penerbit kolonial itu untuk menyusupkan ideologi antikolonial dan menyampaikan semangat untuk merdeka. Dengan rancaknya, Marah Rusli melalui Sitti Nurbaya dan Abdul Muis melalui Salah Asuhan membungkus ideologi mereka dengan tema-tema “palsu”tokoh-tokoh yang disamarkan watak kebangsaan mereka. Hal yang dilakukan oleh Marah Rusli dan Abdul Muis persis seperti yang diajarkan oleh filsafat Minangkabau yang berbunyi: manunduak sakapalo nak lalu sabatang badan (merunduk sebatas kepala agar lolos seluruh tubuh). Maknanya, bersiasatlah agar segala keinginan dapat dicapai.
Pembahasan
Membahas teks sastra sesuai konteks zamannya adalah bagian dari kajian sastra sejarah dan di dalamnya terdapat pula pendekatan pascakolonial, yakni telaah terhadap teks sastra yang lahir di masa kolonial, akibat kolonial, ataupun ditelaah setelah masa kolonial berlalu. Telaah ini penting dilakukan untuk memperoleh gambaran betapa pentingnya peran para sastrawan Minangkabau dulu dalam menyadarkan masyarakat tentang arti pentingnya kemerdekaan bagi suatu bangsa.
Menurut Kartodirdjo (1975:82), sejak dinaikkannya pajak rakyat, pemerintah Belanda memperoleh keuntungan sebesar 24 juta gulden pada tahun 1921, 28 juta gulden pada tahun 1922, 32 juta gulden pada tahun 1923, dan 34 juta gulden pada tahun 1925. Di pihak rakyat tentu saja mengalami kesengsaraan yang teramat sangat karena harus menyetorkan sebagian besar penghasilan mereka kepada penjajah. Hal itu mengakibatkan munculnya berbagai pemberontahan di Hindia Belanda (Indonesia), termasuk di Kota Padang. Rakyat Koto Tangah bergolak melawan pemberlakuan belasting (pajak) yang sangat tinggi atas tanah garapan, hewan piaraan, dan perdagangan.
Marah Rusli berpandangan bahwa pemberlakuan belasting setinggi-tingginya sangat menyengsarakan rakyat. Selain itu, propaganda bahwa Belanda adalah bangsa yang baik harus ditolak sehingga tidak muncul pengagungan terhadap Belanda dan keinginan kaum pribumi untuk meniru atau bermimikri menjadi Belanda. Mengarang roman yang terang-terangan bersifat propaganda tentulah tidak akan bisa terbit di Balai Pustaka dan akan menjadi bacaan liar. Untuk itu, sastrawan Minangkabau tersebut menciptakan sosok Datuk Maringgih yang tamak, culas, jelek, dan gila perempuan. Namun, di akhir cerita ia adalah tokoh penggerak masyarakat melawan Belanda dalam menentang belasting. Ia pun menciptakan karakter Samsubahri menjadi tentara Belanda yang sangat berjasa dan dianugrahi berbagai kehormatan oleh Belanda. Bahkan, setelah saling berbunuhan dengan sesama bangsanya sendiri, Samsubahri dimakamkan dengan upacara kebesaran militer. Sebaliknya, diceritakan pula bahwa pemakaman pemuda kehilangan jatidiri karena cinta itu tidak dihadiri oleh seorang pun bangsa pribumi. Ketika roman Sitti Nurbaya ditelaah dengan pendekatan pascakolonial, maka tema “palsu” kawin paksa dan penentangan terhadap adat digantikan oleh tema perlawanan terhadap kolonial yang didasari oleh spirit perjuangan, kemerdekaan, dan kebangsaan.
Abdul Muis pun menggugat sistem menggugat sistem stratifikasi sosial yang diberlakukan pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia. Ia tidak setuju terhadap pembedaan golongan masyarakat atas hierarki yang terdiri atas Belanda, Indo Eropa, Asia Timur, Asia Barat, bangsawan, dan pribumi (inlander) sebagai golongan masyarakat yang paling bawah. Abdul Muis memandang bahwa hal itu sangat berpengaruh secara psikologis terhadap bangsa pribumi. Timbul keinginan masyarakat pribumi untuk menjadi Belanda, seperti Hanafi, pemuda Minangkabau yang lupa pada akar budaya tempat ia dilahirkan akibat pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan bergaulnya di tengah masyarakat Eropa. Bagi Hanafi, yang hebat hanyalah Eropa yang modern, sedangkan suku bangsa Minangkabau dan adatnya adalah hal yang menjijikkan. Tokoh Hanafi sengaja digambarkan demikian sebagai wujud kegalauan terhadap prilaku sebagian pemuda masa itu yang terlena dalam propaganda bangsa Barat sebagai ras unggulan dan melupakan kewajiban mereka terhadap nasib bangsanya yang sedang berada dalam cengkeraman penjajah.
Sama seperti Marah Rusli, Abdul Muis pun harus bersiasat agar karyanya dapat terbit di Balai Pustaka. Konon, Abdul Muis harus merelakan perombakan kisah tokoh Corrie du Busse –yang pada naskah aslinya meninggal karena penyakit kelamin akibat pergaulan bebas sebagai bangsa Eropa– menjadi meninggal karena sakit paru-paru akibat merana oleh pernikahannya dengan Hanafi. Abdul Muis harus tunduk pada doktrin bahwa Eropa selalu baik dan benar. Perempuan Indo Perancis itu dikisahkan menikah karena kasihan kepada pemuda pribumi yang sangat berkeinginan menjadi bagian dari masyarakat Eropa itu. Untuk itu, ia harus menanggalkan kebebasan perempuan Eropa untuk meninggalkan kebiasaan bergaul di luar rumah, merokok, dan hidup sederajat dengan kaum laki-laki. Dari sudut bangsa Eropa, perkawinan Corrie-Hanafi hanyalah mendatangkan kesengsaraan bagi Corrie.
Sebagai pertanggungjawaban terhadap pemuda pribumi, Abdul Muis tetap menyusupkan ideologi kebangsaan dalam romannya itu. Ia menggambarkan betapa sengsaranya hidup tanpa akar budaya sendiri seperti yang dialami tokoh Hanafi yang tertatih-tatih menggapai pengakuan menjadi bangsa Eropa. Setelah pengakuan legal diperoleh, ia bukannya mendapat perlakuan terhormat, malah dikucilkan oleh bangsa yang menjadi idamannya itu. Bahkan, ketika meninggal, kaum keluarganya tidak mengizinkan ia dikuburkan di pandam pekuburan suku. Abdul Muis menggambarkan hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie) dalam rangka penyadaran kepada kaum muda bahwa betapapun bangsa Barat (Belanda) tetap memandang rendah kepada bangsa Timur (Indonesia), seperti ucapan du Busse kepada Corrie anaknya bahwa Timur tinggal Timur, Barat tetap Barat dan tidak mungkin menjadi satu. Hal itu sebagai pembenaran terhadap hegemoni bangsa kolonial.
Penutup
Melalui karyanya masing-masing, Marah Rusli dan Abdul Muis menyampaikan ideologinya kepada pembaca, khususnya kepada generasi muda akan pentingnya hidup berdaulat sebagai bangsa merdeka. Keduanya seperti menunjuk-ajari dan mengingatkan kaum muda terhadap kesengsaraan hidup di bawah kekuasaan penjajah. Baik Marah Rusli maupun Abdul Muis sama-sama menggagas pentingnya mempertahankan jatidiri sebagai kaum pribumi yang seharusnya memiliki pandangan tentang persamaan derajat dengan bangsa apapun di dunia. Persamaan derajat (egaliter) itu sesungguhnya adalah ajaran filsafat Minangkabau yang dinyatakan dalam pepatah-petitih berbunyi, tagak samo tinggi; duduak samo randah. Pepatah-petitih tersebut mengandung makna tentang pentingnya peniadaan stratifikasi sosial yang membuat seseorang menjadi budak terhadap seseorang lain yang menjadi tuannya. Kedua sastrawan asal Minangkabau itu membungkus ideologi tidak saja dengan rancak, namun juga dengan arif seperti pengarang anonim Kaba Gombang Patuanan yang menggelorakan semangat antipenjajah dengan memetaforakan tokoh-tokoh penjajah sebagai Rajo Unggeh Layang, Rajo Sianggarai, dan Rajo Sipatokah.
Tokoh Samsubahri tak semestinya menjadi tentara KNIL hanya karena persoalan cinta. Ia seharusnya berpikir dan bertindak dalam perspektif kebangsaan, yakni membela tanah airnya dari keterpurukan akibat penjajahan, bukannya menjadi penumpas pemberontakan yang pada hakikatnya adalah perjuangan bangsanya sendiri melawan kesemena-menaan. Tokoh Hanafi tak semestinya bermimikri menjadi Belanda hanya karena ingin beristrikan orang Eropa. Pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan pergaulan seharusnya membuka mata Hanafi agar kritis melihat kesenjangan sosial yang sengaja diciptakan Belanda untuk memarjinalkan bangsa jajahannya sehingga dapat menguasainya dengan mudah. Tentang perbedaan antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang selalu didoktrinkan Belanda, sesuai dengan pepatah-petitih yang berbunyi: atah jo bareh ‘ndak ka mungkin sabaua; ameh jo loyang ‘ndak ka mungkin basatu (atal dan beras takkan mungkin berbaur; emas dan loyang takkan mungkin bersatu). Kalimat kearifan itu bermakna bahwa selama stratifikasi sosial masih diberlakukan, maka persamaan derajat tidak akan pernah ada. Sebagai orang Minangkabau, Abdul Muis menjadikan kebijaksanaan dan kearifan lokal (wisdom and local knowledge) Minangkabau itu sebagai dasar baginya dalam menyusun kerangka ideologi yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
Rujukan:Kartodirdjo, Sartono, dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Vol. V. Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan
Krisna, Eva. 2004. “Roman-Roman Balai Pustaka dalam Perspektif Pascakolonial” dalam Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Salingka edisi Desember 2004, halaman 24—42.
Moeis, Abdul. 1928. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeliono-Budianto, Irma. 2004. Ideologi Budaya. Jakarta: Kota Kita.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusli, Marah. 1922. Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka.
No comments:
Post a Comment
KOMEN ANDA